Cerpen : Kakek Merah Putih


Kakek Merah Putih
Oleh : Reni Prasetia N

Semilir angin berhembus begitu riang, sembari menikmati panorama pagi kabupaten Kediri atau lebih tepatnya desa Purwodadi yang begitu indah, aku berlari – lari kecil sebagai upayaku untuk melumaskan kaki – kakiku setelah perjalanan dari kota rantauanku di tengah – tengah pulau Jawa. Seharusnya bulan ini kemarau, tetapi gelagat – gelagat hujan nampak malu – malu sepagi ini. Musim memang telah berubah, musim sepertinya telah menghianati perputaran waktu. Tetapi sesungguhnya hal tersebut terjadi karena ulah tangan – tangan manusia yang serakah ingin menggagahi alam. Alam seharusnya bukan untuk dieksploitasi dan dikeruk kekayaannya tetapi alam itu untuk di jaga karena alam sesungguhnya adalah titipan Tuhan, alam menyimpan sejarah tentang betapa kuasanya Tuhan.
“Alfan !!!”, sapa seseorang mengagetkanku.
Aku menoleh untuk melihat empunya suara yang sepertinya memang tidak asing dalam pendengaranku.
“Hei husen!!!”,sapaku sembari setengah berteriak karena kurang lebih setahun ini aku tak melihat rupanya.

Aku menghampirinya dan kemudian menjabat tangannya. Dia sedang berdiri di seberang jalan sembari memasang bendera – bendera di tongkat – tongkat penyangga.
“Bagaimana kabarmu kawan?”, tanya husen dengan antusias.
“Alhamdulillah baik, kamu sendiri bagaimana?”, balasku padanya.
“Alhamdulillah juga baik,  kamu tambah kurus”, candanya padaku.
            Husen benar, sedari setahun terakhir ini aku memang memikirkan banyak hal oleh karena itu aku menjadi sedikit lebih kurus dibandingkan dengan dulu, selain studiku aku juga memiliki pekerjaan sambilan menjadi seorang pengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar tempat yang sedikit jauh dari tempat studiku sehingga kadang kala hal tersebut menjadi kendala bagiku. Fokusku pun juga ikut terbagi karena hal tersebut. Tak hanya Husen yang berkata aku kurus tetapi ibuku pun juga demikian.
            “Iya, habis aku kepikiran kamu terus sih”, balasku mencandainya.
            Kemudian pembicaraan kami berlanjut ke banyak hal. Husen adalah sahabatku sejak kecil, kami selalu bersekolah di sekolah yang sama dari Taman Kanak – kanak (TK) sampai Sekolah Menegah Atas (SMA). Namun selepas dari SMA yaitu setahun yang lalu, kami melanjutkan studi kami di tempat yang berbeda. Aku dengan ambisiku yang menggebu – gebu memilih untuk merantau ke tengah – tengah pulau Jawa, yaitu Yogyakarta. Sedangkan Husen lebih memilih untuk tetap berada di kota kelahiran kami, Kediri. Kami memiliki perbedaan persepsi terkait dengan hal tersebut. Meski demikian kami tetap menjalin komunikasi.
            Pagi itu Husen mengajakku untuk menjadi panitia pelaksana lomba untuk merayakan kemerdekaan Indonesia dan acaranya akan di gelar malam nanti.  Husen memberiku sejumlah uang untuk dibelikan beberapa perlengkapan perlombaan nanti malam. Setelah itu aku melanjutkan aktivitas berolah ragaku dan kemudian pulang ke rumah.
###
            Mentari bersinar begitu terik meski sisa – sisa hujan masih nampak dengan begitu jelas. Sejak pagi tadi selepas aku berolah raga pagi hujan memang mengguyur desaku, sehingga menyebabkan aku tak dapat kemana – mana. Aku yang hendak membeli perlengkapan untuk perlombaan jadi urung. Dan sekarang selepas hujan reda, aku kembali urung lantaran teriknya mentari. Namun aku harus tetap pergi untuk membeli perlengkapan tersebut karena itu menyangkut komitmenku sebagai panitia. Kemudian ku ambil motorku dan aku pun pergi ke beberapa toko yang menjual peralatan – peralatan yang hendak ku beli. Usai genap semua barang – barang yang hendak ku beli, aku pun kembali ke rumah. Di seberang jalan depan rumahku aku melihat seorang kakek yang sedang berdiri di tengah teriknya mentari. Kakek itu mengenakan pakaian yang sepertinya juga dikenakan oleh tentara Indonesia dan kakek itu terlihat seperti mengamati sesuatu. Tak tahu kenapa tiba – tiba timbul hasrat dalam diriku untuk menghampirinya.
            “Siang kakek”, sapaku pada kakek tersebut.
            Kakek itu mengangguk dan tersenyum.
            “Kau tahu nak, tempat ini dulu tidak seperti ini dan semuanya telah banyak berubah. Hari ini semua orang bersuka cita untuk merayakan kemerdekaan Indonesia secara besar - besaran. Padahal sebenarnya bukan seperti itu yang kami inginkan. Kami para pejuang kemerdekaan tidak menginginkan perayaan besar – besaran nak. Cukup dengan kalian para generasi muda belajar dengan rajin hingga kemudia dapat membangun negara ini dengan baik”, kata kakek tersebut.
Pernyataan kakek tersebut membuatku tergeming. Dalam sedikit renunganku, tiba – tiba Hpku berbunyi dengan nyaring. Hpku tak ada di sakuku kemudian aku merunduk untuk mencarinya di sekelilingku karena mungkin saja Hpku jatuh. Tetapi Hpku tidak ada dan kemudia saat aku hendak bertanya kepada kakek di depanku, tiba – tiba beliau tidak ada. Dan kemudian gelap menyelubungi penglihatanku. Semuanya gelap sampai kemudian ada sebuah cahaya biru kecil diantara kegelapan tersebut. Seiring dengan hal tersebut bunyi Hpku kembali terdengar dengan begitu nyaring. Ku raih cahaya biru tersebut, yang ternyata merupakan cahaya yang berpangkal pada Hpku sendiri. Sembari ku raih ku nyalakan lampu senter yang terdapat dalam Hpku untuk mengusir kegelapan. Ku amati sekelilingku dengan cahaya senter tersebut, suasana sekelilingku seperti tidak asing bagiku. Ada tempat tidur dan meja belajar,  aku jadi sedikit bingung karena terakhir kali tadi sepertinya aku sedang berdiri di depan rumahku bersama seorang kakek yang mengenakan baju tentara. Mungkin tadi aku mimpi, begitu pikirku. Sembari tersadar jika aku sedang berada di dalam kamarku, ku nyalakan lampu kamarku. Tiba – tiba Hpku berdering lagi. Ku pencet tombol hijau untuk menjawab panggilan dari Hpku.
“Hei, kamu kemana saja Alfan? Acaranya sudah mau dimulai, mana peralatannya?. Ayo cepat kesini!”, kata Husen dari seberang.
“Iya, tunggu aku. Lima belas menit lagi aku sampai”, kataku menanggapi pernyataannya.
Ku lihat jam analog yang tertera di Hpku, ternyata waktu telah menunjukkan pukul 19 : 05 WIB. Kemudia aku bergegas benar diri karena aku telah berjanji pada Husen untuk sampai ke lokasi lomba perayaan kemerdekaan dalam waktu kurang lebih lima belas menit. Setelah berbenah aku pun segera mengambil motorku untuk menuju lokasi lomba. Saat aku hendak mengendarai motorku, aku melihat ada tas plastik warna hitam di stang sepeda motorku. Ku buka tas plastik tersebut dan ternyata isinya adalah peralatan – peralatan yang harus ku bawa untuk perlengkapan lomba. Setelah itu tanpa menuggu aku segera bergegas ke lokasi lomba. Setibanya di sana Husen menyambutku dengan riang meski terlihat dari raut mukanya yang sedikit jengkel dengan aku, karena dia lama menungguku. Di sana suasanannya sangat ramai dan meriah. Sepertinya tak ada yang bersedih hari itu, wajar saja karena hari itu bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Sembari menikmati suasana perayaan di malam hari tersebut tiba – tiba aku teringat dengan kakek yang ku temui tadi. Siapa sebenarnya dia?. Kenapa dia berkata demikian padaku?. Dan apakah dia itu benar – benar nyata atau hanya ada dalam benakku?. Pertanyaan – pertanyaan tersebut berngiang – ngiang di kepalaku.
“Ah sudahlah, tidak penting siapa kakek itu, yang jelas nasihatnyalah yang lebih penting. Mungkin aku bisa memanggilnya Kakek Merah Putih, jika aku bertemu dengannya suatu saat nanti karena dia memberikan nasihat tentang bangsa Indonesia”, begitu pikirku saat itu. #Tamat.
v

0 Response to "Cerpen : Kakek Merah Putih"

Posting Komentar