Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995,
diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes'
ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding
sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail
sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut
'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak
orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian
penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di
pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, HB Jassin
pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya.
Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah
mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26
ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut
pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala
peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada
zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada
masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh
diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang
'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar
buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan
saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum
terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan
membela diri, tambahnya.
Semenjak Orde Baru
berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan
suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok
secara terbuka di koran.
Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi
tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'.
Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya
mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya
mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari
umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh
media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan
fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang
pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer,
dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang
dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya
dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual,
mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat
perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru
selama masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara
Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak
dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar
pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia
memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni
Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award
untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke
Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas
Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah
menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki,
diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya.
Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran
bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul
buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang
pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.
17 November 2012 pukul 20.56
saya sangat bangga dengan pak pram karena adalah satu-satunya orang indonesia yg mendapat nobel, selain itu walaupun beliau pernah mendapat kengkangan untuk menulis tp beliau tetap saja menulis, bahkan tulisannya dikenang sampai sekarang.
salah satu perkataan beliau yg sangat menginspirasi saya adalah " JIKA KAU TAK INGIN TERTINDAS OLEH SEJARAH, MAKA MENULISLAH".
terimakasih pak pram, krn telah membanggakan bangsa ini.