CHILDHOOD MEMORIES
Oleh: Reni Prasetia Nurmawati
Sedari
kecil aku selalu bermimpi bisa terbang bebas lepas dari satu tempat ke tempat
yang lain, dan setiap kali melihat pesawat terbang di langit mimpiku serasa
merangkak naik bagai anak tutul yang mencoba menangkap tupai di pohon. Dengan
naluri kekanak-kanakanku pada waktu itu aku selalu meminta ayah menemaniku
melihat patung pesawat terbang di sebuah taman di kotaku. Namun ayahku selalu
menolak karena taman itu terlampau jauh. Pernah suatu ketika di hari ulang
tahunku yang ke-11, ayahku benar-benar mengajakku ke tempat itu dan aku sangat
senang karena untuk pertama kalinya aku dapat menyaksikan patung pesawat
terbang. Selepas hari itu setahap demi setahap mimpiku mulai berubah menjadi
sebuah harapan besar yang suatu hari nanti ingin ku gapai. Aku ingin menjadi
pilot.
###
Pengalihan jam kerja menyebabkan
sedikit kontraksi di perusahaan. Apalagi beberapa waktu yang lalu perusahaan
kami memasang iklan lowongan kerja. Alhasil perusahaan kami jadi lebih ramai
dikunjungi. Diantara yang datang ada yang hanya melihat-lihat persyaratan dan
diantaranya pula, ada yang sudah
mendaftar sebagai calon pegawai baru. Untuk menghadapi tahap selanjutnya yaitu
tahap setelah pengetesan dan interview yang merupakan tahap training. Maka para
manager sepakat untuk meliburkan dan mengalihkan jam kerja pegawai yang lama.
Itulah yang sering terjadi di dunia kerja. Ketika perusahaan mengalami banyak
permintaan maka perusahaan tersebut juga banyak menawarkan lowongan. Namun
ketika permintaan menurun maka perusahaan tidak akan menawarkan lowongan. Tak
jarang PHK pun sering terjadi ketika masa itu tiba.
Libur lima hari, kesempatan ini tak
ku sia-siakan karena jarang sekali perusahaan kami meliburkan pegawainya sampai
lima hari, bahkan libur lebaran saja
biasanya hanya tiga hari. Itupun belum dipotong piket. Kali ini mungkin dewi
fortuna berpihak kepadaku karena akhir pekan sebelum liburan aku sudah tak
mempunyai jadwal on air, sehingga akhir pekan ini aku bisa langsung pulang
kampung. Sebelum pulang ku sempatkan diriku pergi ke tanah abang membeli buah
tangan untuk ayahku, Risky serta Maya. Meski sudah tak sabar rasanya menunda
satu hari kepulanganku untuk itu. Karena kerinduanku pada mereka yang tak mampu
lagi ku bendung, juga terhadap seseorang yang bertahun-tahun tak ku jumpai.
Sengaja aku pulang naik pesawat agar
lebih cepat sampai, meskipun itu memotong gaji bulananku. Dan sengaja pula aku
tidak memberi tahu mereka atas kepulanganku, sehingga dari juanda ke Purworejo
aku harus berpanas-panas ria naik bus umum. Hal itu ku lakukan semata karena
ingin memberikan kejutan pada mereka. Jarak halte bus ke rumahku kurang lebih
sekitar empat kilometer, akan sangat melelahkan sekali jika aku berjalan kaki.
Apalagi hari ini mentari serasa tersenyum beseri-seri diantara lautan
kebiru-biruan bercampur arakan awan berwarna putih besih. Senyumnya yang terasa
begitu ikhlas bahkan bisa disebut terlalu ikhlas itu membuatku berkeringat
karena senyum ikhlas itu terapresiasi pancaran radiasinya. Sehingga menyebabkan
hari ini begitu panas. Situasi yang tidak bersahabat dengan kondisi tubuhku,
membuatku harus merogoh kantongku lebih dalam lagi untuk naik ojek sampai ke
depan rumah.
Begitu aku sampai di rumah, Maya
istriku yang lebih dulu mengetahui kepulangan ku segera meraih tanganku dan
menempelkan punggung tangan di bibirnya dengan begitu takzim. Meski tanpa kata
sayang ataupun rindu sebagai sambutan, namun begitu terasa kerinduan yang
selama ini dideranya.
Tak
terasa cairan-cairan hangat keluar dari pelupuk mata kami. Pertemuan dua hati
dan dua kerinduan ini menimbulkan rasa haru yang tak terperi dan tersadar aku
bahwa cinta dan kasih tak perlu diungkapkan tetapi dirasai dan dimaknai dengan
ketulusan hati.
“Ayah...!!!”
Aku menoleh untuk melihat empunya
suara dan tanpa berbasa-basi dia memelukku dengan erat.
“Ayah...!!!” panggilnya seraya
mencium kedua pipiku dengan manja.
“Aduh!! Ayah belum mencukur kumis
ya, geli ah,” keluhnya.
Aku hanya tersenyum seraya mengelus
rambutnya. Dari ruang keluarga yang sekaligus ruang TV, nampak seorang
laki-laki dengan membawa tongkat berjalan terseok-seok. Semakin dekat semakin
jelas raut wajahnya yang nampak letih karena usia juga sorot matanya yang sayu.
Ayahku menghampiri dan kuraih tangannya, aku cium tangannya dengan hikmat
sebagaimana Maya istriku mencium punggung tanganku. Dia membalas mendekapku dan
mengelus rambutku menggunakan tangannya yang keriput. Seraya melepas
dekapannya, seulas senyum terselip diwajahnya.
“Kenapa nggak bilang kalau mau
pulang? Paling tidak kan istrimu bisa jemput,” tanya Ayah lembut.
“Kan surprise!” jawabku.
“Kamu!!! Ayo istirahat kamu pasti
lelah,” pinta Ayah.
Aku mengangguk kemudian kami masuk ke
ruang keluarga diikuti oleh Rizqi dan Maya yang membawakan barang-barangku.
###
Pukul 15:30 WIB, setelah
membersihkan diri dan beristirahat sejenak aku ingin bersepeda keliling kampung
sekaligus menanti seseorang. Aku baru berjalan menuju garasi untuk mengambil
sepeda, namun langkahku terhenti.
“Mau kemana lagi?” tanya ayah.
“Jalan-jalan, nostalgia atau
menunggu dia?” selidik ayah. “Kenapa kau masih berharap dia kembali? Kenapa kau
masih memikirkan orang yang tak pernah memikirkanmu. Mungkin dia telah mati karena
belasan tahun tak berkabar!” tambah ayah.
Aku hanya diam dengan posisi tetap
memunggunginya. Aku tak sanggup melihat ekspresi ayah disaat seperti ini. Suaranya
terdengar tegas tapi kalem dan acuh. Tanpa berpamitan dan mengubah posisi, aku
meninggalkan ayah dengan posisinya yang entah bagaimana. Ku ambil sepeda
bututku dan segera meluncur ke jalan raya.
Ayah
adalah seorang idealis, susah sekali mengubah pendirianya. Aku jadi teringat
kembali dengan peristiwa pada belasan tahun yang lalu ketika aku masih
menginjak kelas satu aliyah semester akhir dan kakakku kelas tiga aliyah. Hari
itu bertepatan dengan hari ketiga setelah pengambilan ijazahnya. Kebetulan kami
bertiga sedang berkumpul di ruang tamu, meski dengan kesibukan masing-masing.
Aku dengan buku gambarku, kakakku dengan buku yang di bacanya dan ayah dengan
sepak bola yang di tontonnya di TV. Memang mengherankan sekali, ayahku seorang
modin tapi kami jarang berkumpul bersama. Ayahku memang selalu sibuk di balai
desa, rapat-rapat, di prosesi pemakaman orang, pernikahan, sebagai ustadz yang
mengajar mengaji di surau dan sebagai pembicara di pengajian-pengajian. Bahkan
ayah masih menyempatkan diri mengurus sawah.
“Ayah, aku ingin menjadi insinyur
dan kalau ayah mengizinkan, aku ingin melanjutkan ke ITB,” kata kakakku sambil
menutup buku yang dibacanya.
Suasana yang tadinya hening menjadi senyap.
“Tapi itu cita-citaku. Itu mimpiku
sejak kecil,” kata kakaku.
“Hidup memang seperti mimpi. Maka
sadarlah, bangunlah dan lihatlah bahwa menggantikan posisi ayah sebagai modin
adalah jalan dan pilihan yang paling tepat karena pahala dunia akhirat menantimu,”
kata ayah tegas.
“Aku tak ingin menjadi seperti bunga
matahari yang selalu mengejar sinar matahari. Aku tak ingin menghabiskan waktu
dan tenaga hanya untuk mendongak sampai lupa kemampuan diriku sendiri,” timpal
kakakku dengan berapi-api.
“Apa kau lupa?! Kau ini tak
sesempurna kebanyakan orang. Lihat kakimu, kau tak punya kaki yang sempurna,
kau ini pincang! Apa kau yakin bisa meraihnya dengan kondisi seperti itu?!” cerca
ayah.
Suasana kembali senyap. Baik ayah
maupun kakak sepertinya mereka sama-sama mengalami pergulatan dan gejolak batin
yang hebat.
“A...Aku tak akan mengabaikan suara
lirih di dasar hatiku,” kata kakakku dengan terbata dan suara yang bergetar.
Setelah itu kakak beranjak dari
ruang tamu.
“Ayah, kenapa berkata begitu?” tanyaku.
Ayahku tak menjawab, tak bergeming
dan hanya menunjukkan ekspresi datar. Karena tiada berjawab, aku pun beranjak
untuk menemui kakaku.
“Jangan ikut-ikut memberontak!” kata
ayah tiba-tiba saat aku hendak beranjak.
Aku tak menyahutinya dan terus
berjalan menemui kakakku. Ayah pikir darimana sikap pemberontakku dan kakakku
selama ini kalau bukan dari materi genetik yang dibawa oleh kromosom ayahku. Dari
balik pintu ku lihat kakakku sedang merapikan buku. Aku ingin mendekat tapi aku
tak tega. Saat ini dia nampak seperti barang porselen yang sangat mudah pecah.
“Masuk saja, jangan mengintipku
seperti itu,” kata kakakku yang ternyata sedari tadi tahu kalau aku mengintip.
“Hai!” sapaku sambil tersenyum
bodoh.
Dia balik tersenyum padaku dan terus
melanjutkan pekerjaannya.
Suasana hening dan aku hanya
termangu sambil menungguinya selesai merapikan buku.
“Ayo tidur!” ajaknya setelah
selesai.
“Kau tetap ingin menjadi insinyur?” tanyaku.
“Tentu saja. Kau meremehkanku?” jawabnya.
“Bukan begitu maksudku. Kau memang
juara tapi...” kataku.
“Tapi apa? Apa maksudmu karena aku
cacat semuanya jadi tak mungkin? Asal kau tahu saja ya, meskipun Allah tak
pernah memberikan kedua kaki ini padaku, hal itu tak akan pernah menghalangiku
karena aku masih punya sayap, di sini dan di sini,” katanya dengan menunjuk dada
dan dahi. “Sudahlah, ayo tidur!” tambahnya lalu berbaring di tempat tidur.
Aku mengikutinya berbaring. Setelah
kejadian tadi, tiba-tiba aku takut dan merasa kecil dengan mimpiku yang
menjulang tinggi.
“Aku ingin menjadi pilot,” kataku
mencoba meyakinkanku pada mimpiku sendiri.
“Aku tahu itu,” katanya datar.
“Tapi ayah?” tanyaku.
“Jangan melihat dari sudut pandang
yang menyudutkanmu. Lagi pula beliau pasti mengerti bahwa setiap orang
mempunyai jalan yang berbeda, pokoknya jangan lupa pesanku,” kata kakak sambil
menguap lebar.
“Iya, jangan pernah takut bermimpi
dan jangan pernah takut melangkah! Itu kan maksudmu,” timpalku.
“Bagus kalau kau selalu
mengingatnya,” katanya lagi kemudian membalikkan badan.
Dia tertidur disaat malam terus
menunjukkan gulitanya. Meski diadu dengan bulan serta bintang-bintang yang
terus menunjukkan pijarnya. Malam telah gulita, aku terjaga sendiri dan hanya
sunyi yang kini mulai menemani, sampai aku terlelap nanti.
Hingga
esok, esok, esok, esok sampai hari ini aku sendiri karena dia telah pergi
mencari celah itu, celah yang menghubungkannya dengan mimipinya.
####
Tanpa sadar, aku berhenti dan
menanti di tempat yang selalu menyisakan kenangan antara aku dan mas Eko. Di
stasiun Purworejo, entah kenapa hari ini aku benar-benar merindukannya. Lebih
dari hari-hari sebelumnya. Aku merindukan binar matanya yang seolah selalu
mengatakan “masih ada celah, ada harapan.” Juga efek filosofis yang timbul dari
gerak-geriknya. Aku duduk di bangku stasiun. Menyaksikan hiruk-pikuk
orang-orang di stasiun, aku jadi teringat sewaktu aku dan mas eko masih kecil.
Aku selalu ngotot ingin naik kereta dan turun di stasiun Sawang menuju sebuah
taman yang selalu ingin ku kunjungi. Mereka menyebut taman itu Pungkasan Paninggal,
tapi aku menyebutnya taman pilot, karena di sana ada sebuah patung pesawat
terbang dan di sebelah selatan taman itu ada sebuah sekolah atau lebih tepatnya
akademi penerbangan.
Taman itu adalah tempat yang selalu
membuatku berdebar dan tempat yang membuatku bagai anak tutul yang kelaparan.
“Sore pilot!” sapa seseorang.
Aku terperanjat dan reflek berdiri
sambil merundukkan setengah badan.
“Sore,” balasku kemudian.
“Duh duh, Pak pilot minta tanda
tangan dong,” katanya kemudian.
Kami berdiri berhadap-hadapan, ku
amati si empunya suara dari atas sampai bawah karena ku rasa aku mengenalnya.
“Sepertinya Pak Pilot lupa
denganku,” katanya lagi dengan nada bercanda.
“Aan?! Apa kabar?” tanyaku kemudian
diiringi gelak tawa.
Kemudian kami sama-sama duduk di
bangku stasiun.
“Boleh minta tanda tangan?” katanya
mengawali pembicaraan.
“Sudahlah, jangan bercanda,” jawabku
dengan tertawa.
“Aku serius. Istriku sedang hamil
dan dia nyidam ingin tanda tangan dari Pilot,” katanya dengan raut muka serius.
Mendengar jawabannya, tawaku pecah
tak tertahan dan aku pun tertawa terbahak-bahak.
“Istrimu lucu sekali!” kataku sambil
menahan tawa.
Aan mengambil sebuah buku dari dalam
tasnya, kemudian menyodorkannya padaku untuk ditanda tangani. Setelah itu dia
mengambil buku itu dan beranjak dari bangku stasiun. Dia menghormat dan aku
membalasnya, dia melambai kemudian berlalu diantara hiruk pikuk orang-orang.
Aan
adalah teman SMP-ku. Aku mengenalnya dengan baik. Dia tipikal orang yang
mengejar. Itu terbukti sejak setelah pelatihan LBB di SMP kami dulu. Dia mulai
mengerti arti sebuah harapan dan mimpi terbesarnya. Sejak itu pula, dia
mengejarnya hingga saat ini. Saat semuanya telah berujung, dia menjadi ABRI.
Setelah Aan pergi, aku kembali duduk
termenung. Ketika kehampaan mulai menyelimuti, aku pun beranjak dari bangku
stasiun. Aku berjalan menuju hamparan sawah di luar stasiun. Dulu disitu aku
dan mas Eko biasa bermain layang-layang.
Saat
aku berjalan, seseorang menabrakku dari arah berlawanan dan bahu kami saling
bertabrakan. Aku menatap orang itu tajam karena sepertinya dia sengaja. Pandangan
mata kami bertemu dan dia tersenyum padaku. Aku benar-benar terkejut karena dia
adalah sosok yang sangat ku kenal sekaligus sosok yang selama ini ku cari.
Tanpa meminta izin aku memeluknya, mendekapnya dengan erat. Aku hampir tak
mengenalinya. Dia sudah sangat berubah, kecuali matanya. Sorot matanya memang
selalu begitu. Sembilan belas tahun kami berpisah, sekarang mas Eko benar-benar
berubah. Badannya bertambah kekar dan ada kumis tipis terselip diantara hidung
dan bibirnya. Dia nampak terlihat inteleg dengan kacamata yang ia sematkan di matanya.
Dia tidak pincang lagi, kakinya terlihat seperti kaki orang normal.
“Kemana saja Kau?” tanyaku sambil
melepas pelukan kami.
Dia tersenyum sambil menjawab
pertanyaanku. Ternyata selama ini dia berusaha memenjelmakan mimpinya. Kini dia
benar-benar menjadi seorang Insinyur di sebuah perusahaan penerbangan yang sama
denganku. Dia juga meminta maaf kepadaku karena selama ini tak pernah memberi
tahuku meskipun tahu bahwa kami bekerja di perusahaan yang sama. Dia meminta
maaf lagi untuk sebuah kesalahan yang benar-benar menyiksaku. Sebenarnya
setelah malam itu ayah sadar dan kemudian mengizinkan kami menggapai cita-cita
apapun yang kami impikan, namun mas Eko sengaja menyuruh Ayah untuk menentangku
agar aku benar-benar berusaha. Ayah dan mas Eko sengaja bersekongkol.
“TUT-TUT-TUT,” bunyi sirine kereta
mengajak para penumpang untuk segera naik.
Mas Eko menarikku untuk masuk
kedalam kereta. Aku mengikutinya masuk kedalam kereta meskipun tak tahu akan
diajak kemana aku nanti. Setelah semua penumpang duduk, kereta berjalan melewati
hamparan sawah yang hijau. Kereta terus melaju dengan kecepatan yang tidak
stagnan.
Di stasiun pemberhentian pertama mas
Eko menarikku untuk
turun. Dia terus mengajakku berjalan kesebuah lapangan disebelah taman
pungkasan paningal. Dia menyurhku untuk berhenti tetapi dia terus berjalan
menuju ketempat anak-anak kecil bermain sepak bola.dari tempatku berdiri Dia
terlihat sedang menego anak-anak itu.Mas Eko Mengeluarkan beberapa lembar uang
untuk anak-anak kecil itu.Kemudian Dia berjalan menghampiriku sambil membawa
bola anak-anak kecil tadi.
“Ayo main bola!,”ajaknya padaku.
Aku terdiam dan tercengang dengan
apa yang dia lakukan. Aku tak pernah menduga hari ini terjadi, ketika mas Eko
bisa berjalan seperti orang normal dan mengajakku bermain sepak bola.Dia
mengoperkan bola padaku dan Aku membalasnya.bersamaan dengan itu gerimis
datang. Namun Kami tetap disitu merasakan euforia yang meluap-luap.Mas Eko
merebut bola dariku. Aku berdiri termenung melihatnya dengan lincah memainkan
bola. Tiba-tiba memori childhoodku berputar dan terasa seperti ada pementasan
drama dibenakku dan pemeran utamanya adalah Aku dan mas Eko.
“hei,ayo rebut bolaku!,kau tidak
malu kalah melawan orang pincang!,”Katanya padaku.
“Oke,ku rebut bolamu!,”Seruku seraya
berlari merebut bolanya.
Aku benar-benar seperti pemeran
utama dalam drama childhood memories dan drama itu berakhir dengan happy ending.
0 Response to "Cerpen : Childhood Memories"
Posting Komentar