Opini : Wajah Pancasila di Era Reformasi



Wajah Pancasila di Era Reformasi
Oleh: Reni Prasetia Nurmawati

Euforia kebebasan pacsa rezim Orde baru begitu gilang gemilang, seperti angin segar di dalam bis yang penuh sesak dan panas akibat radiasi matahari dengan intensitas yang terlalu tinggi, tak ubahnya orde baru. Orde baru adalah masa yang sangat menyesakkan, panas, penat sekaligus masa yang sangat panjang. Tiga puluh dua tahun pemerintahan orde baru dan selama itu pula rakyat Indonesia tercekat, tergantung sedikit tapi tidak sampai mati.
Awal rezim orde baru disambut dengan antusias tinggi oleh rakyat Indonesia karena pada waktu itu gembong orde baru “telah berjasa” mengentaskan rakyat Indonesia dari teror pembuhuhan keji yang disinyalir dilakukan oleh “PKI” (partai Komunis yang pernah mencoba mengganti idoelogi bangsa dengan ateisme) lantaran dendamnya dengan TNI. Dari situlah muncul spekulasi bahwasanya gembong orde baru tersebut memanfaatkan situasi, tanpa ada yang menyadarinya. Sampai surat Super Semar turun, sampai pelantikan presiden kedua, sampai orde baru bergulir. Rakyat Indonesia terlena, tanpa sadar terlepas dari mulut harimau mereka dengan hormat masuk ke mulut buaya.
Orde baru menetapkan kebijakan – kebijakan dengan konsep yang sangat bagus, seperti penerapan P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan kebijakan dalam aspek lain. Beberapa aspek berjalan dengan baik sampai ketika itu Indonesia sempat dijuluki sebagai “The Miracle of Asia” dengan perekonomian yang meningkat pesat, swasemabada panggan, bahkan sampai sempat menjadi pemasok beras dunia. Terlepas dari semua hal tersebut, Indonesia menanggung utang yang begitu banyak kepada bank dunia (IMF). Beberapa kebijakan yang diharapkan dapat mengentaskan Indonesia dari utang ternyata gatot (gagal total) dalam praktiknya, lantaran aparat yang menjalankan sistem korupsi. Pada waktu itu pula pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran pancasila yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Akibatnya ketika terjadi pergantian rezim (orde baru ke reformasi), muncullah demistikikasi (penghilangan penghargaan) dan perombakan habis – habisan terhadap Pancasila, yang dianggap sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya.  Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap sebagai ornamen sistem politik yang bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.
Isu HAM dan Demokrasi memberikan kekuatan baru bagi rakyat Indonesia untuk menggulingkan kekuasaan rezim orde baru hingga memunculkan era reformasi. Era reformasi perlahan – lahan menggeser pola pikir rakyat Indonesia dari pola pikir yang terbelenggu diktator menjadi pola pikir yang bebas diktator. Pola pikir bebas tersebut membuat masyarakat lebih berani menyampaikan aspirasi, apalagi ketika reformasi bergulir telah dihapuskannya SIUPP dan diganti dengan kode etik.

Penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan orde baru menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hilangnya roh pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia menyebabkan masyarakat Indonesia menjadi lebih tak terkontrol.
Seharusnya apabila masyarakat dan pemerintah mampu bekerja sama untuk mensinergikan antara apa yang ada pada nilai dasar, nilai Instrumen dan nilai praktis Pancasila, InsyaAllah semuanya akan berjalan dengan baik. Tetapi kenyataan yang terjadi sekarang ini justru memilukan, jangankan mensinergikan, bekerja sama saja tidak bisa. Baik pemerintah dan masyarakat, semuannya mengelu – elukan demokrasi dan HAM. Mereka menjadi penikmat demokrasi sehingga tanpa sadar bahwa “Demokrasi” yang mereka elu – elukan tersebut sudah melewati batas menjadi liberalis. Naasnya hal tersebut bergulir begitu saja tanpa disadari. Semuanya menjadi kacau, KKN di hampir semua lini pemerintahan, partai politik saling sikut, masyarakat enggan lagi percaya dengan pemerintah.
 Indonesia adalah negara hukum yang tidak berimbang karena dalam pelaksanaan praktiknya seperti pedang, tajam di bawah tetapi tumpul di atas. Koruptor yang mengkorupsi bermilyar – milyar hanya diganjar dengan beberapa bulan di “hotel prodeo”, sedangkan maling ayam diganjar dengan hal yang sama, itu pun dengan kualitas “hotel prodeo” yang berbeda dan perlakuan yang berbeda pula dari aparaturnya. Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam tetapi semua pengelolanya adalah bangsa asing. Kong kalikong antar aparatur pemerintahan sudah bukan lagi menjadi hal yang rahasia. Masyarakat geram dengan laku aparatur yang tak tahu aturan itu, adapun aparatur yang tahu aturan, itu pun dalam skala yang sangat minor. Mereka semua yang duduk di kursi pemerintahan itu memakai topeng, topeng yang sangat manis. Mungkin bagi mereka hukum di Indonesia ini adalah ajang bisnis, semua bisa diuangkan termasuk pendidikan dan sistemnya yang setiap aparaturnya ganti juga ikut berganti. Masyarkat jengah dengan laku pemerintah, akibatnya masyarakat menjadi lebih sensitif dan emosional, anarkis serta suka main hakim sendiri karena menganggap pemerintah tidak becus dalam menangani permasalahan.
Antara pemerintah dan masyarakat seharusnya saling mengerti karena baik pemerintah maupun masyarakat adalah sebuah komunitas bertingkat yang memiliki keterikatan yang kuat atau bersimbiosis mutualisme, jika diibaratkan sebuah rantai maka tidak akan lagi menjadi sebuah rantai apabila satu mata rantainya terputus. Untuk mencegah terputusnya mata rantai tersebut alangkah baiknya apabila mampu mensinergikan nilai - nilai pancasila, baik nilai dasar, instrumen maupun nilai praktis serta memusyawarahkan segala permasalahan yang ada. Agar kesemuanya mampu ditujukan untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki oleh seluruh bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan tujuan yang tertera dalam UUD ‘45.

*)Penulis adalah aktivis LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Solidaritas dan Mahasiswi
UIN Sunan Ampel Surabaya


0 Response to "Opini : Wajah Pancasila di Era Reformasi"

Posting Komentar