Wajah Pancasila di Era Reformasi
Oleh: Reni Prasetia
Nurmawati

Awal
rezim orde baru disambut dengan antusias tinggi oleh rakyat Indonesia karena
pada waktu itu gembong orde baru “telah berjasa” mengentaskan rakyat Indonesia
dari teror pembuhuhan keji yang disinyalir dilakukan oleh “PKI” (partai Komunis
yang pernah mencoba mengganti idoelogi bangsa dengan ateisme) lantaran
dendamnya dengan TNI. Dari situlah muncul spekulasi bahwasanya gembong orde
baru tersebut memanfaatkan situasi, tanpa ada yang menyadarinya. Sampai surat
Super Semar turun, sampai pelantikan presiden kedua, sampai orde baru bergulir.
Rakyat Indonesia terlena, tanpa sadar terlepas dari mulut harimau mereka dengan
hormat masuk ke mulut buaya.
Orde
baru menetapkan kebijakan – kebijakan dengan konsep yang sangat bagus, seperti
penerapan P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan kebijakan dalam
aspek lain. Beberapa aspek berjalan dengan baik sampai ketika itu Indonesia
sempat dijuluki sebagai “The Miracle of Asia” dengan perekonomian yang
meningkat pesat, swasemabada panggan, bahkan sampai sempat menjadi pemasok
beras dunia. Terlepas dari semua hal tersebut, Indonesia menanggung utang yang
begitu banyak kepada bank dunia (IMF). Beberapa kebijakan yang diharapkan dapat
mengentaskan Indonesia dari utang ternyata gatot (gagal total) dalam
praktiknya, lantaran aparat yang menjalankan sistem korupsi. Pada waktu itu
pula pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan
penafsiran pancasila yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Akibatnya
ketika terjadi pergantian rezim (orde baru ke reformasi), muncullah
demistikikasi (penghilangan penghargaan) dan perombakan habis – habisan
terhadap Pancasila, yang dianggap sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen
politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut
dipersalahkan karena dianggap sebagai ornamen sistem politik yang bersifat
monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.
Isu
HAM dan Demokrasi memberikan kekuatan baru bagi rakyat Indonesia untuk
menggulingkan kekuasaan rezim orde baru hingga memunculkan era reformasi. Era
reformasi perlahan – lahan menggeser pola pikir rakyat Indonesia dari pola
pikir yang terbelenggu diktator menjadi pola pikir yang bebas diktator. Pola
pikir bebas tersebut membuat masyarakat lebih berani menyampaikan aspirasi,
apalagi ketika reformasi bergulir telah dihapuskannya SIUPP dan diganti dengan
kode etik.
Penolakan
terhadap segala hal yang berhubungan dengan orde baru menjadi penyebab mengapa
Pancasila kini absen dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Hilangnya roh pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia menyebabkan
masyarakat Indonesia menjadi lebih tak terkontrol.
Seharusnya
apabila masyarakat dan pemerintah mampu bekerja sama untuk mensinergikan antara
apa yang ada pada nilai dasar, nilai Instrumen dan nilai praktis Pancasila, InsyaAllah
semuanya akan berjalan dengan baik. Tetapi kenyataan yang terjadi sekarang ini
justru memilukan, jangankan mensinergikan, bekerja sama saja tidak bisa. Baik
pemerintah dan masyarakat, semuannya mengelu – elukan demokrasi dan HAM. Mereka
menjadi penikmat demokrasi sehingga tanpa sadar bahwa “Demokrasi” yang mereka
elu – elukan tersebut sudah melewati batas menjadi liberalis. Naasnya hal
tersebut bergulir begitu saja tanpa disadari. Semuanya menjadi kacau, KKN di
hampir semua lini pemerintahan, partai politik saling sikut, masyarakat enggan
lagi percaya dengan pemerintah.
Indonesia adalah negara hukum yang tidak
berimbang karena dalam pelaksanaan praktiknya seperti pedang, tajam di bawah
tetapi tumpul di atas. Koruptor yang mengkorupsi bermilyar – milyar hanya
diganjar dengan beberapa bulan di “hotel prodeo”, sedangkan maling ayam
diganjar dengan hal yang sama, itu pun dengan kualitas “hotel prodeo” yang
berbeda dan perlakuan yang berbeda pula dari aparaturnya. Indonesia adalah
negara yang kaya akan sumber daya alam tetapi semua pengelolanya adalah bangsa
asing. Kong kalikong antar aparatur pemerintahan sudah bukan lagi menjadi hal
yang rahasia. Masyarakat geram dengan laku aparatur yang tak tahu aturan itu,
adapun aparatur yang tahu aturan, itu pun dalam skala yang sangat minor. Mereka
semua yang duduk di kursi pemerintahan itu memakai topeng, topeng yang sangat
manis. Mungkin bagi mereka hukum di Indonesia ini adalah ajang bisnis, semua
bisa diuangkan termasuk pendidikan dan sistemnya yang setiap aparaturnya ganti
juga ikut berganti. Masyarkat jengah dengan laku pemerintah, akibatnya
masyarakat menjadi lebih sensitif dan emosional, anarkis serta suka main hakim
sendiri karena menganggap pemerintah tidak becus dalam menangani permasalahan.
Antara
pemerintah dan masyarakat seharusnya saling mengerti karena baik pemerintah
maupun masyarakat adalah sebuah komunitas bertingkat yang memiliki keterikatan
yang kuat atau bersimbiosis mutualisme, jika diibaratkan sebuah rantai maka
tidak akan lagi menjadi sebuah rantai apabila satu mata rantainya terputus.
Untuk mencegah terputusnya mata rantai tersebut alangkah baiknya apabila mampu
mensinergikan nilai - nilai pancasila, baik nilai dasar, instrumen maupun nilai
praktis serta memusyawarahkan segala permasalahan yang ada. Agar kesemuanya
mampu ditujukan untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki oleh seluruh bangsa
Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan tujuan yang
tertera dalam UUD ‘45.
*)Penulis
adalah aktivis LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Solidaritas dan Mahasiswi
UIN
Sunan Ampel Surabaya
0 Response to "Opini : Wajah Pancasila di Era Reformasi"
Posting Komentar