Cerpen : Cinta



CINTA
Oleh : Reni Prasetia N
Sore itu mendadak mentari menjadi begitu enggan menampakkan dirinya. Sementara sepagi dan siang tadi ia telah dengan begitu bersemangat membagi panas sinarnya dengan kami.  Mungkin karena  telah didahului oleh awan – awan yang menghitam ia menjadi begitu. Menurut buku geografi  yang pernah ku baca, itu merupakan salah satu proses presipitasi, yang artinya sebentar lagi akan hujan. Dan jika dilihat dari ciri – ciri awannya, awan itu nampak seperti awan cumulonimbus, yang artinya bukan hanya hujan biasa tapi hujan lebat.
“Yas, kenapa kamu bengong disitu?, ayo segera berangkat”, teriak ibu
Aku sedikit tergeragap dengan teriakan ibu, namun selaksana titah dari raja, aku tak dapat menolak untuk segera berangkat meskipun dalam hati kecilku aku sangat takut segala sesuatunya berubah saat kami kembali nanti. Dengan tak begitu bersemangat aku berjalan menuju mobil, di dalam mobil, paman, bibi, sepupuku, ibu, kakak serta adikku telah duduk dan atmosfer di dalamnya terasa begitu sesak.
“Bu, kenapa sesak sekali?, sepertinya kalau aku tidak ikut tidak akan menjadi begitu sesak”, celotehku saat memasuki mobil.
“Kenapa kamu cerewet sekali?, sudah cepat duduk !”, kata kakakku dengan begitu beringas.
Bukan karena menuruti perkataan kakak aku segera duduk, tetapi saat melihat tatapan ibu yang nampak begitu lelah, seperti tak ada alasan lagi bagiku untuk menolak, meskipun berseberangan dengan hatiku. Setelah aku duduk, paman segera melajukan mobil yang kami naiki. Seiring dengan melajunya mobil, melaju pulalah keheningan - keheningan diantara kami. Aku benci dengan keheningan seperti ini, kesannya seperti ada yang sedang meninggal. Terbersit dalam benakku untuk membuat lelucon agar suasannya lebih cair. Aku menggoda adikku, ku ambil jepit rambutnya dan sedikit ku koyakkan rambutnya.

“Maaass !, jangan gitu mas, rambutku berantakan nih”, rengek adikku disertai gelak tawaku.
Bukan tawa yang menyambut leluconku tapi serangkaian wajah – wajah menyeramkan yang sama sekali tak berhasrat untuk tertawa. Gelak tawaku serasa seperti kembang api di tengah samudera, tak berpengaruh sama sekali.
“Sudah yas, jangan ganggu adikmu !”, perintah mbak Ilma, kakakku.
  Akhirnya aku diam, aku ikut hanyut dalam derasnya pusaran keheningan di dalam mobil tersebut. Sembari diam, pandangan mataku menangkap semburat kehijauan dari balik kaca mobil, semburat kehijauan tersebut adalah interpretasi dari pepohonan di tepi hamparan rawa, dan seketika itu imajinasiku bermain. Lima puluh juta tahun yang akan datang rawa tersebut pasti akan menjadi tempat penghasil batu bara muda, dari gambut – gambut rawa tersebutlah akan memunculkan kriket – kriket batu bara. Tentu saja itu akan terjadi jika  rawa tersebut tetap dijaga kelestariannya dan jika tidak, maka generasi kedepan hanya mengetahui batu bara dari buku – buku sejarah saja. Lebih jauh lagi, tekhnologi dan sosio-kultur lima puluh juta tahun yang akan datang mungkin akan teramat sangat jauh dari sekarang dan mungkin pemanfaatan batu bara sendiri juga berbeda jauh dari sekarang. Mungkin iklim di Indonesia juga ikut berubah lima puluh juta tahun yang akan datang, mengingat patahan – patahan lempeng benua yang semakin lama semakin menyebabkan kedekatan antar pulau maupun benua di planet bumi ini. lebih liar lagi, mungkin lima puluh juta tahun yang akan datang tak ada lagi sepeda yang dikayuh dengan kaki, tetapi mungkin ada inovasi baru yaitu sepeda terbang. Aku tersenyum senyum sendiri membayangkan kebenaran dari liarnya imajinasiku barusan, pasti akan sangat mengagumkan kenampakan dunia lima puluh juta tahun yang akan datang. Aku harus menulis surat untuk mengabarkan keadaan di masa sekarang untuk masa depan, aku akan menuliskannya di sebuah kertas dan akan ku masukkan ke dalam tabung kemudian ku kuburkan di tanah lapang di dekat rumahku. Tawaku pecah saat aku membayangkan hal itu.
“Heh !!!,” bentak mbak Ilma seraya memukulkan botol air mineral di lenganku.
“Pasti kamu mikirin hal – hal jorok ya?,” sergah mbak Ilma.
Enggak kok !, sapa bilang?,” jawabku seraya memegang lenganku.
Ternyata lumayan sakit pukulan tadi, apalagi botolnya masih terisi. Kakaku memang selalu cerewet, seakan – akan dia tak pernah membiarkanku bebas sebentar saja. Dia adalah miss perfeksionis yang hobinya mengatur kehidupan orang lain, tapi aku justru suka dia yang seperti itu karena aku merasa diperhatikan, dikhawatirkan dan disayangi. Tetapi terkadang aku juga tak suka dengan caranya yang sedikit berlebihan. Tak terasa mobil yang kami naiki telah sampai di tempat yang kami tuju. paman mengawali turun dari mobil dan kemudian disusul dengan yang lain, hingga kemudian aku. Begitu aku keluar, angin dingin menyambut. Jika dilihat dari kondisi awannya, pasti angin tersebut telah membawa seperberapa mili partikel uap air dari hasil evaporasi yang mengendap di awan cumulonimbus tersebut. Itu merupakan bukti paling nyata akan turunnya hujan lebat sore itu, prediksiku tak mungkin meleset, begitu pikirku. Dan beberapa menit kemudian partikel – partikel air meluncur dengan kapasitas dan intensitas yang begitu rapat, hujan deras benar – benar datang tak terelakkan. Tebakanku tak meleset, “aku cocok jadi peramal cuaca”, begitu pikirku. Sementara hujan, adikku masih terjebak di dalam mobil karena dia masih kebingungan mencari jepit rambutnya yang sebenarnya sedang ku sembunyikan. Ibu menyuruh adikku untuk tinggal beberapa waktu di dalam mobil karena kami tak membawa payung, sementara acara dimulai. Aku masuk ke dalam ruangan, berbeda dengan beberapa waktu yang lalu aku tak pernah mau diajak masuk ke dalam karena aku lebih suka duduk – duduk di depan gerbang gedung ruangan yang bertuliskan “PENGADILAN AGAMA ISLAM NEGERI KOTA KEDIRI” tersebut. Tetapi kali ini aku masuk, aku hendak menanyakan kepada petugas, apakah mereka memiliki payung atau tidak. Dan ternyata ada, kemudian ku bawa payung pinjaman tersebut untuk menjemput adikku yang terjebak di dalam mobil.
“Mas Ilyas !, you are my angel”, seru adikku dengan logat Inggris indonesianya saat aku membuka pintu mobil dengan membawa payung.
Dan seketika itu juga ekspresi kesal di wajahnya memudar, apalagi saat ku kembalikan jepit rambutnya. Dia tersenyum lebar, dia sangat senang jepit kesayangannya itu kembali. Aku juga ikut senang melihat senyumannya, senyuman tulus dan polos. aku kasihan melihat dia, apakah setelah ini dia masih bisa tersenyum seperti itu?. “Ah !, dia belum mengerti apa – apa tentang arti perpisahan” begitu pikirku saat itu.
“Kamu masuk aja duluan, mas masih pengen diluar”, himbauku pada adikku setelah kami berhasil menerobos hujan.
Adikku mengangguk dan kemudian masuk ke dalam ruangan, sementara aku tetap berada diluar. Aku duduk di tempat yang sedikit strategis untuk menikmati pemandangan hujan sambil mendengarkan lagu – lagu dari mp3 Hpku melalui headset. Lagu pertama yang tak sengaja ku putar adalah lagu yang dipopulerkan oleh almarhum Crisye, yang berjudul kisah kasih di sekolah.
Kisah kasih di sekolah dengan si dia
Tiada kisah paling indah, kisah kasih di sekolah
Tiada masa paling indah, masa – masa di sekolah
Sesekali aku ikut bersenandung, sementara itu lamunanku melesat ke beberapa tahun silam. Melesat ke tahun – tahun indah yang tak pernah ku jamah.
###
            Kata orang masa SMA adalah masa keemasan. Masa yang sangat abu – abu, dimana tidak hitam dan putih pun juga tidak. Masa SMA yang diawali dengan MOS (Masa Orientasi siswa) sebagai gerbang awal masuknya siswa SMP ke jenjang SMA. Tahapan ini merupakan tahap paling mengasyikkan, yang mana siswa baru dan siswa lama dapat berbaur bersama atau lebih tepatnya dipaksa untuk berbaur. Entah dari mana tradisi ini muncul, yang jelas setiap siswa baru di sekolah manapun diwajibkan meminta tanda tangan minimal seratus kepada kakak tingkatnya. Dan tradisi ini pun juga di budayakan oleh sebuah SMA swasta di pinggiran kota kediri, SMA Kadiri.
            Pagi itu pemandangan di SMA Kadiri sedikit aneh, banyak siswa siswinya yang mengenakan seragam putih hitam dengan membawa barang – barang yang tak lazim dibawa ke sekolah, mereka berlari – lari sementara ada seorang siswa sedang meniupkan peluit dengan kuat – kuat sembari tangannya mengibas – kibas ke arah lapangan. Seakan benar – benar dikibas oleh siswa berpeluit tadi, siswa – siswi yang membawa peralatan aneh tadi berlari tunggang langgang mengikuti arah kibasan tangan siswa tadi. Sedikit lucu menyaksikan pemandangan demikian, bagaiman bisa perkenalan siswa baru seperti itu?, siapa juga yang mula - mula menjadikannya sebagai tradisi. Benar – benar tak habis dipikir. Tetapi dari situlah cerita baru dimulai, cerita tentang dua anak remaja yang tak sengaja bertemu dalam MOS di sekolah tersebut, yang satu bernama Lutfi dan satunya lagi bernama Rahmat. Pertemuan unik mereka bermula ketika Lutfi mendapatkan hukuman karena membantah seniornya. Lutfi dihukum untuk mencari tanda tangan seseorang berinisial R, yang merupakan ketua klub voli dan kandidat ketua Osis. Singkat cerita akhirnya Lutfi dapat menemukan seseorang berinisial R, yang merupakan ketua klub voli dan kandidat ketua Osis dan yang sebenarnya adalah Rahmat. Seperti dalam novel – novel atau cerita – cerita roman yang lain, hubungan Lutfi dan Rahmat tidak berhenti sampai disitu dan lambat laun akhirnya mereka menjadi dua sejoli. Cerita mereka berdua sangat manis, semanis gula jawa yang terbuat dari kelapa, gulanya tak hanya manis tetapi juga gurih dan legit. Meskipun dalam perjalanan cerita mereka juga dibumbui dengan rona – rona cemburu dan pertengkaran – pertengkaran kecil, namun segala sesuatunya tidak menjadi permasalahan yang begitu signifikan bagi mereka. Masa SMA ternyata menjadi terasa begitu singkat bagi mereka, hingga akhirnya mereka berdua lulus dari SMA tersebut dan mulai merasakan senias kehidupan yang terjal. Selepas dari SMA, Rahmat mendaftar di akademi kepolisian dan Lutfi mendaftar di Universitas pendidikan. Namun na’asnya mereka berdua tidak diterima hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah dan berwirausaha. Hidup memang tak mudah, usaha mereka mengalami jatuh bangun yang cukup lama hingga akhirnya mereka menjadi lebih berpengalaman menyusun strategi dalam berwirausaha. Beberapa tahun berlalu dan bisnis mereka berkembang pesat. Mereka semakin bahagia dengan cinta mereka, terlebih lagi mereka telah dikaruniai tiga anak yang lucu – lucu dan cerita cinta mereka masih semanis saat mereka muda dulu, saat mereka masih SMA.
            “Yas, palu sudah diketok, sekarang mereka resmi bercerai”, kata mbak Ilma seraya memegang pundakku.
            Aku sedikit terperanggah dari lamunanku saat merasakan sentuhan tangan mbak Ilma di pundakku dan aku pun menoleh sembari melepas headset yang sedang ku pakai.
            “Mbak bilang apa tadi?, maaf aku gak begitu dengar,” kataku padanya.
            “Palu udah diketok dan mereka udah resmi bercerai sekarang,” katanya diikuti isakan tangis.
            Mbak Ilma duduk disampingku dan kemudian menangis. Hatiku berkecamuk hebat saat melihat kakaku menangis dan mataku ikut memanas, butiran – butiran air mataku tak terelakkan untuk jatuh, namun aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menjatuhkannya. Aku tidak ingin kakaku semakin sedih karena melihat aku bersedih, aku pun memeluk kakakku yang kala itu duduk disampingku.
            “Sudahlah mbak gak papa, semuanya akan tetap baik – baik saja meskipun ayah ibu berpisah dan kita tetap keluarga meskipun tidak bersama – sama,” kataku menguatkan kakakku.
            Sembari itu akhirnya air mataku tak terelakkan jatuh, aku pun ikut menangis. Aku tak kuasa membayangkan bagaimana kelanjutan cerita keluargaku nanti sekembalinya dari pengadilan ini. keluargaku yang dipenuhi cinta, keluargaku yang baik – baik saja ternyata menyimpan rahasia kecil yang bahkan kami (anak - anaknya) tak tahu menahu kalau cerita cinta ayah dan ibunya tak lagi semanis masa SMA mereka, cerita cinta Lutfi dan Rahmat. Mungkin itulah sebabnya ibu selalu mengatakan bahwa cinta tak selalu semanis gula jawa, karena kadang kala dalam proses pembuatannya yang tak sempurna menyebabkan gula itu menjadi cacat dan tidak sesuai dengan yang diharapkan, seperti halnya dengan cinta.
Tamat.
####

0 Response to "Cerpen : Cinta"

Posting Komentar