Edisi Curhat : My Love Life

Yang jelas sejak awal aku tak pernah mengundangnya, apalagi membiarkannya masuk. Ia seperti orang asing yang melintas di depan jendelaku, terkadang cuma lewat, terkadang melambai dan menyapa, terkadang berhenti sebentar dan mengobrol. Aku meladeninya dengan ogah2an, penuh prasangka. Aku lebih sering tidak membuka jendelaku, dan kalaupun membukanya, tanganku selalu siap menutupnya kembali, tidak pernah sungguh2 mementangkannya. Tapi ia sepertinya tak pernah memperhatikan semua itu. Ia datang sebagai dirinya sendiri, sarat  warna, penuh kehidupan, tidak terusik. Ia membiarkan jarak mematut diri di antara kami, membiarkan aku sekehendak hati mengulur jarak itu di antara kami. Sepertinya ia paham betul, hanya dengan begitulah ia bisa mencegahku membangun tembok yang lebih tebal dan tidak membiarkannya masuk. Hanya dengan jarak itulah ia dapat meraihku, tidak terlalu dekat, tidak terlalu rapat, selalu berantara, dan bagiku artinya aman.
Mula2, kusangka ia pintar. Ahli siasat, kurasa. Ia tahu persis kapan harus meraihku, dan kapan harus membiarkanku pergi. Perlahan namun pasti ia hadir sebagai seseorang yg mampu mengimbangi jiwaku yg rumit dan berjarak. Aku mengawasinya berusaha mengenali dengan sabar setiap relung gelap di dalam hatiku, tak pernah memilih pergi meskipun kerap aku mencoba mengusirnya dengan sikap dinginku. Aku mengawasinya berusaha bertahan menghadapi setiap luapan amarahku yg pahit, yg kerap merusak kebahagiaan dalam hatinya, mengejek setiap maafnya yg terulur padaku. Semakin ia bertahan disisiku, semakin aku terus menyakitinya, memberontaki setiap daun cinta yg dimilikinya bagiku.
Aku? Aku sangat tidak ingin dimiliki untuk saat ini. Aku tidak ingin dimiliki oleh siapapun; aku tidak ingin dimiliki lalu dibuang setelah pemiliknya merasa bosan. Mungkin suatu saat nanti, saat aku bertemu dengan seseorang yg tepat, aku akan melabuhkan segalanya. Cintaku dan diriku seutuhnya. Dan saat itulah aku akan siap dimiliki. aku tidak tahu apakah itu kamu? atau orang lain yg telah ditakdirkan Tuhan untukku. Aku tidak tahu.

Poem : "How do I love Thee"

How Do I Love Thee? (Sonnet 43)

Elizabeth Barrett Browning, 1806 - 1861
 
How do I love thee? Let me count the ways.
I love thee to the depth and breadth and height
My soul can reach, when feeling out of sight
For the ends of being and ideal grace.
I love thee to the level of every day’s
Most quiet need, by sun and candle-light.
I love thee freely, as men strive for right.
I love thee purely, as they turn from praise.
I love thee with the passion put to use
In my old griefs, and with my childhood’s faith.
I love thee with a love I seemed to lose
With my lost saints. I love thee with the breath,
Smiles, tears, of all my life; and, if God choose,
I shall but love thee better after death.

Edisi Curhat :"Pulang"



Tidak yakin ini mimpi atau bukan. Realitasku seperti disusupi sayup musik dangdut  dan suara orang-orang bercengkrama. Begitu kubuka pintu kamar, yang ada dihadapanku hanyalah sepi. Dan seketika aku tersadar, aku tengah berada di kamar kosku. Mungkin karena hasrat pulangku yang begitu menggebu-gebu, hingga membuatku begini. Rasanya sudah lama sekali sejak perpulanganku yang terakhir. Aku bahkan sudah berbulan-bulan tak bertemu adikku. Aku rindu ibuku, ayahku, adik-adiku dan rumahku. Dulu sekali, pergi jauh dari rumah adalah hal yang ku inginkan, selain untuk berlari dari semua pergulatan yang ada, aku ingin menguji diriku. Seberapa kuat aku ditempa dengan dunia luar, seberapa tegar aku  berdiri tegak tanpa orang lain, sekalipun perkara finansial aku masih saja ditopang “orang rumah”. Lagi–lagi, ini seperti sebuah hipokrti yang cantik dengan bertopeng “sekolah”, aku sebenarnya mencari “kebebasanku yang lain”, tanpa harus mendapat hukuman verbal dari “orang rumah”. Karena aku benci hukuman verbal, aku benci dihujat.
Tanpa harus berkontempelasi sepanjang hari, aku lebih memilih pergi dari pada tinggal, dua tahun lalu. Namun ketika benar-benar pergi, aku justru lebih banyak berkontempelasi. Seperti saat ini, aku lebih suka mengabiskan waktuku dengan berdiam dilantai dua bangunan kosku seraya memandangi jemuran teman-temanku yang bergantungan tak beraturan. Dan aku juga lebih sering menghabiskan waktu luangku dengan tidur. Ada yang bilang padaku bahwa “Jika ada seseorang yang lebih banyak tidur atau lebih sedikit tidur, itu menandakan bahwa seseorang itu sedang kesepian”, mungkin hal itu juga terjadi padaku saat ini. Tanpa kusadari, jauh dibilik hatiku aku merasakan sepi yang tak terperi. Aku punya banyak teman dan aku tahu mereka semua menyayangiku, tetapi rasanya sangat berbeda implementasi rasa sayang mereka dengan “orang rumahku”.
Aku sedang seperti pengidap leukimia yang setiap saat membutuhkan asupan darah baru untuk kelanjutan hidupku. Dan darah itu adalah implementasi kasih sayang dari “orang rumah”. Entah kenapa, jauh dibilik hatiku saat merindu seperti ini, aku mengutuki keputusanku untuk memilih pergi dua tahun lalu. Aku mengutuki diriku saat sudah seperti ini. Dan kini aku sudah terluka, terluka parah karena rinduku pada “orang rumah”. Berkali-kali aku berkontempelasi, merenungi semua pecahan-pecahan puzzle hidupku dan aku sadar tidak semua perenungan dan pelarian itu berujung pada jawaban. Seringkali, malah pertanyaan atau pelarian barulah yang lahir. Kemudian aku sadar bahwa hidup adalah proses bertanya, bukan berlari. Jawaban hanyalah singgahan dinamis yang bisa berubah seiring dengan berkembangnya pemahaman kita. Dan pertanyaanlah yang membuat kita terus maju, bukan pelarian. Aku beruntung pemahaman seperti ini segera hadir karena aku takut diriku terus berlari dan kemudian tersesat dalam pelarianku.
Dan hal yang sangat kuinginkan saat ini adalah pulang dalam pelarianku. Aku sangat ingin pulang.

Edisi Curhat : "Kangen Ibuk"

     Hari ini cerah meskipun matahari tersembunyi di balik gumpalan-gumpalan awan yang memenuhi hampir seluruh langit. Angin mengantarkan rasa hangat dan menyentuh kulit dengan lembut. Ah, terlalu naif jika aku berharap angin hangat yang sama bertiup juga ditempat ibu berpijak sekarang. Terlalu jauh perjalanan yang harus ditempuh. Dan, di bumi yang semakin gersang ini angin semakin sulit berbisik. Karena kini ia hanya bisa berdansa dengan debu dan udara panas.
     Biarlah, biarlah, biarlah angin yang menyentuhku saat ini tak sanggup pergi ke tempatmu ibu. Biarlah ia menolak membawakan pesan seorang anak rantau kepada kampung halamannya. Cukuplah bagiku alam masih menyediakan segala yang kita butuhkan untuk tetap hidup dan berharap. Matahari pun masih melaksanakan tugasnya hingga cahayanya membantu dedaunan tetap hidup, menumbuhkan pohon-pohon yang tersisa di tanah subur.
    Sering kali aku memejamkan mata, berusaha menjangkaumu dalam pikiranku. Sungguh, aku ingin percaya bahwa pikiran adalah sebuah gelombang yang bergerak dalam frekuensi tertentu. Dan, berharap ibu juga memiliki frekuensi yang sama hingga gelombang pikiran kita bertemu di semesta. Tak peduli di belahan bumi mana, aku bisa memanggilmu ibu. Aku merindukanmu Ibu meskipun sering kali aku tak mampu mengatakannya padamu.

Info : "PD"

Bekal Sukses Itu Bernama "PD"

       Masalah krisis kepercayaan diri (krisis PD) seringkali menjadi salah satu masalah klasik yang dialami oleh sebagian orang. Meski kelihatannya sederhana, namun jika dibiarkan berlama-lama, krisis PD bisa jadi bumerang tersendiri. Salah satunya, potensi yang ada dalam diri kita akan terhambat. Sekarang mari kita ulas sejauh mana pengaruh kepercayaan diri bisa mempengaruhi keberhasilan seseorang. Saat menghadiri seminar atau sebuah pertemuan misalnya, banyak di antara kita yang lebih nyaman memilih tempat duduk di belakang ketimbang di depan. Alasannya kadang sederhana.. "takut ditanya sama si pembicara". Namun saat seminar sudah dimulai, yang duduk paling belakang seringkali jadi tidak begitu kelihatan atau terdengar dengan baik apa yang dibicarakan oleh si pembicara karena terhalang oleh mereka yang duduk di depan! Pernah merasa seperti itu? Atau saat kita masih berstatus pelajar, apakah kita termasuk yang malu-malu untuk angkat tangan dan memberikan jawaban yang sebenarnya kita tahu atas pertanyaan yang ditanyakan guru kita? Sekarang, mari kita cari tahu apa saja yang menyebabkan orang suka minder atau kurang PD! Berikut beberapa alasannya:
        1. Sering berpikir yang 'tidak-tidak' tentang diri mereka! "Coba kalau aku tinggi, aku mau dong jadi model terkenal seperti Luna Maya! ...Tapi sayang, aku nih pendek & item, gigiku gondrong lagi!!"  Jangan pernah memandang sebelah mata terhadap diri kita. Semua yg kita miliki adalah anugerah Tuhan yang pasti ada manfaatnya.
       2. "Takut Salah" bisa membuat kita tidak maju. Jika kita selalu takut salah dalam melakukan sesuatu, maka pastinya kita tidak akan pernah bisa berhasil. Janganlah takut salah! Karena kesalahan sebenarnya adalah langkah awal menuju keberhasilan. Tokoh-tokoh besar dunia yang penemuannya sekarang kita nikmati, dulunya mereka banyak melakukan kesalahan. Namun, mereka terus dan terus mencoba untuk memperbaiki kesalahannya hingga tercipta sebuah penemuan yang besar, seperti lampu pijar, pesawat terbang, Google Dan masih banyak lagi yang lain! Oleh sebab itu, jangan pernah takut salah!
      3. Jika kita bergaul dengan pengecut, otomatis kita juga akan jadi pengecut. Pergaulan bisa mempengaruhi kepribadian kita. Jika kamu berada di lingkungan yang mayoritas tidak punya
rasa PD tinggi, maka jangan harap kamu bisa PD. Yakinlah, sedikit banyak, PD kita sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana kita berada. Oleh sebab itu, pandai-pandailah mencari teman atau pergaulan yang memiliki kepercayaan tinggi. Kamu pasti pernah mendengar istilah "Jika ingin kaya, bergaulah dengan orang-orang kaya". Maksudnya, bukan berarti kalau kita tidak punya uang bisa bersandar pada mereka dan pinjam uang! Tapi tujuan kita adalah bisa menyerap 'cara berpikir' mereka yang bisa membuat mereka menjadi kaya!
       4. Tidak perlu terpengaruh pendapat orang lain Kita seringkali terpengaruh dengan pendapat orang lain. Sayangnya, tidak semua pendapat itu benar. Pendapat atau masukan dari luar boleh saja kita tampung. Tugas kita adalah *mengolahnya*, sekaligus untuk evaluasi diri. Jika ada pendapat yang justru membuat kamu menjadi mundur dan tidak berhasil, maka kamu perlu menolaknya, tanpa perlu terpengaruh oleh pendapat itu. Singkat kata, hilangkan jauh-jauh rasa minder dalam diri kita. Kamu tidak perlu resah dengan kekurangan yang ada. Jika ada melakukan kesalahan, tinggal perbaiki kesalahan yang kamu buat, dan jadikan kesalahan itu sebagai pengalaman.
The last but not least...
Selalu perkaya dirimu dengan ilmu. Karena dengan memiliki banyak ilmu, otomatis kekurangan kita dalam hal lain bisa tertutupi oleh kelebihan lain yang kita miliki! Begitu banyak orang yang tidak
menyadari 'sleeping giant' dalam dirinya. Potensi dahsyat dan besar yang acapkali diabaikan oleh alam pikirannya sendiri, yaitu perasaan minder!
So, percaya dirilah! Agar semua potensi dahsyat yang kamu miliki *keluar* dan tidak lagi terhambat!

Puisi : "Sajak Lepaskanlah"

Saat tiba untuk tenggelam
Maka, sebaik apapun niat matahari menyinari bumi
Dia harus mau tenggelam
Memberikan malam kesempatan Saat tiba waktunya untuk gugur
Maka, seindah apapun bunga melati
Dia harus gugur
Luruh ke bumi menjadi tanah kembali Ada banyak cita2 indah kita tidak kesampaian
Ada banyak keinginan mulia kita tidak tergapai
Tapi tidak mengapa, lepaskanlah
Hidup ini tidak selalu dinilai seberapa jauh kita melangkah
Tapi juga dari seberapa tulus kita melepaskan
Untuk meyakini, masih ada cita2 lain, keinginan2 lain
Yang boleh jadi lebih indah dan mulia Esok hari
Matahari akan kembali terbit
Bunga melati pun merekah lagi Lepaskanlah.

Opini : Anarkisme




Anarkisme dengan mengatasnamakan demokrasi dan dikemas dalam bentuk demonstrasi adalah bentuk paling nyata runtuhnya peradaban akademis, logis dan rasionalitas berpikir. Hal ini menjadi cerminan degradasi moralitas tingkat akut sehingga dengan tak tahu malunya melakukan aksi pengrusakan fasilitas umum. Apakah dengan beraksi demikian semua permasalahan akan selesai? Boleh jadi tidak, atau justru malah membengkak. Anarkisme dengan mengatasnamakan demokrasi adalah metode paling kadaluarsa dalam menyampaikan sebuah aspirasi. Hal demikian juga tidak efektif dan jauh dari kata elegan.
Sebagai generasi muda sudah sepatutnya “tahu diri” dan “tahu posisi”. Hal-hal semacam penyampaian aspirasi seharusnya justru tidak merisaukan para birokrat bangsa lantaran aksi yang selalu dibumbuhi dengan anarkisme. Penyampaian aspirasi seharusnya disampaikan dengan cara yang elegan, semisal dengan menulis opini di media cetak nasional ataupun di media lain yang dapat diakses masyarakat luar maupun dalam negeri. Seperti contoh yang disebutkan diatas akan lebih menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia adalah generasi akademis yang bermartabat. Indonesia yang sempat dianggap sebagai  negara sarang teroris lantaran meletusnya bom Bali I dan II dapat direduksi dengan aksi-aksi elegan seperti menulis di media masa dan lain sebagainnya. Adapun aksi demonstrasi, sudah selayaknya dilaksanakan dengan cara yang sopan dan baik.
Salam perdamaian generasi muda !.


Edisi Curhat : "Waiting"

Kita hidup dalam dua kehidupan berbeda
setiap manusia memiliki kehidupan masing2
tidak bertemu disatu titik kehidupan tak masalah
itu tak akan mengubah fakta apapun
biarlah kutelan dalam dia sendirian
hingga potongan jawaban misteri terbesarnya tiba
ini sungguh kisah yg berbeda
akan kutunggu dengan cara terbaik
agar seluruh kisah ini tetap baik..
Amiin.. :)

Puisi : Sahabat

Malam boleh saja lelah...
Tercaut marut dalam larut..
Bias bahagia ternyata berbinar konstan...
Dalam hadirnya yang kusebut sahabat..
Menjadi senyum dalam tangis..
Kata dalam hening...
Dan lantunan do'a bagi jiwa...
Senang bertemu dengan kalian...
Terimakasih.... :)

Edisi curhat : "MidDay"

Aku lelah berlari...
Aku enggan mencari....
Dibalik tembok yang runtuh dengan lelehan air mataku....
Biarkan aku tak beranjak....
Berikan kesempatan aku berdiri disini....
Kadang terdiam lebih baik dari seribu langkah yang tercipta...
Kadang statis lebih menyenangkan.....
Dibanding berharap sebuah kisah berakhir dramatis.....

Edisi Curhat : "Just usual Morning"

Tak ada kebenaran....
Tak ada kesalahan....
Semua statis dan apatis...
Teori hanyalah sampah yang terurai dalam kemasan uji dan bukti empiris...
Apa yang kita lihat.
Belum tentu ada
Apa yang kita tak lihat.
Belum tentu tak ada
Membingungkan?
hmmmmb...... sama !

Edisi Curhat : Ya Sudahlah



Hamba tahu engkau maha bijak yaa Robb..
Hamba tahu ini semua sudah suratan, namun hamba ini cuman manusia biasa yang lebih sering tidak menerima dan memahami segala sesuatu begitu saja.
 Hamba butuh proses, hamba butuh banyak waktu.
Sebagian berubah karena terpaksa.
Sebagian lagi berubah setelah membayar mahal dgn bnyk kesedihan.
Sebagian lagi berubah setelah penuh penyesalan dan airmata.
Maka orang2 yg beruntung adalah yg berubah cukup dgn belajar dari pengalaman orang lain. 

Dari bacaan, nasehat, mengamati. 
Sebelum terlanjur. 
Namun ketika dalam kurun waktu penerimaan dan pemahaman tersebut tak kunjung datang, yang bisa kulakukan justru memberontaki dan memunafiki semuanya.
 Apalah daya hambaMu ini ya Tuhan.
Apa yang bisa hamba lakukan, ketika semua ini justru adalah suratan dari engkau, sang maha pemilik segala.
ya sudahlah.....


Puisi : "Oh"

Oh,
Dimana cemburu itu?
Bukan cemburu tanpa alasan
Tapi cemburu karena ingin menjaga
Bukan cemburu buta
Tapi cemburu karena cinta
Karena Sang Pencipta

Oh, indahnya
Cemburu dengan anggun
Perlahan, saling mengingatkan

"Jika kau peduli, kau akan menjaga"

-----------------------------------------------------------
Karena peduli bukan hanya mendukung ketika ia benar
Peduli juga mengingatkan ketika ia salah.
-----------------------------------------------------------

Tak ada cinta jika tak cemburu
Tapi, cemburu harus diarahkan agar tak serampangan
Agar tak saling menyakiti :-)

Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ثلاثة لا ينظر الله عز وجل إليهم يوم القيامة: العاق لوالديه، والمرأة المترجلة، والديوث.( رواه أحمد والنسائي
Artinya : "Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat (bermakna tiada bantuan dari dikenakan azab) mereka di hari kiamat : org yd durhaka kepada ibu bapaknya, Perempuan yang menyerupai lelaki dan lelaki DAYYUS" ( Riwayat Ahmad & An-Nasa'i: Albani mengesahkannya Sohih : Ghayatul Maram, no 278 )

Dalam riwayat lain dikatakan Dayyus yaitu seseorang lelaki yang membiarkan kejahatan (seperti: zina, buka aurat, bergaul bebas) yang dilakukan oleh ahlinya (isteri dan keluarganya).

Jika kita melihat tafsiran oleh para ulama berkenaan istilah Dayus ia adalah seperti berikut:
هو الذي لا يغار على أهله 
Artinya: "Seseorang yang tidak ada perasaan cemburu (kerana iman) terhadap ahlinya (isteri dan anak-anaknya). [An-Nihayah,2/147 ; Lisan al-Arab, 2/150]

Opini : Wajah Pancasila di Era Reformasi



Wajah Pancasila di Era Reformasi
Oleh: Reni Prasetia Nurmawati

Euforia kebebasan pacsa rezim Orde baru begitu gilang gemilang, seperti angin segar di dalam bis yang penuh sesak dan panas akibat radiasi matahari dengan intensitas yang terlalu tinggi, tak ubahnya orde baru. Orde baru adalah masa yang sangat menyesakkan, panas, penat sekaligus masa yang sangat panjang. Tiga puluh dua tahun pemerintahan orde baru dan selama itu pula rakyat Indonesia tercekat, tergantung sedikit tapi tidak sampai mati.
Awal rezim orde baru disambut dengan antusias tinggi oleh rakyat Indonesia karena pada waktu itu gembong orde baru “telah berjasa” mengentaskan rakyat Indonesia dari teror pembuhuhan keji yang disinyalir dilakukan oleh “PKI” (partai Komunis yang pernah mencoba mengganti idoelogi bangsa dengan ateisme) lantaran dendamnya dengan TNI. Dari situlah muncul spekulasi bahwasanya gembong orde baru tersebut memanfaatkan situasi, tanpa ada yang menyadarinya. Sampai surat Super Semar turun, sampai pelantikan presiden kedua, sampai orde baru bergulir. Rakyat Indonesia terlena, tanpa sadar terlepas dari mulut harimau mereka dengan hormat masuk ke mulut buaya.
Orde baru menetapkan kebijakan – kebijakan dengan konsep yang sangat bagus, seperti penerapan P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan kebijakan dalam aspek lain. Beberapa aspek berjalan dengan baik sampai ketika itu Indonesia sempat dijuluki sebagai “The Miracle of Asia” dengan perekonomian yang meningkat pesat, swasemabada panggan, bahkan sampai sempat menjadi pemasok beras dunia. Terlepas dari semua hal tersebut, Indonesia menanggung utang yang begitu banyak kepada bank dunia (IMF). Beberapa kebijakan yang diharapkan dapat mengentaskan Indonesia dari utang ternyata gatot (gagal total) dalam praktiknya, lantaran aparat yang menjalankan sistem korupsi. Pada waktu itu pula pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran pancasila yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Akibatnya ketika terjadi pergantian rezim (orde baru ke reformasi), muncullah demistikikasi (penghilangan penghargaan) dan perombakan habis – habisan terhadap Pancasila, yang dianggap sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya.  Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap sebagai ornamen sistem politik yang bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.
Isu HAM dan Demokrasi memberikan kekuatan baru bagi rakyat Indonesia untuk menggulingkan kekuasaan rezim orde baru hingga memunculkan era reformasi. Era reformasi perlahan – lahan menggeser pola pikir rakyat Indonesia dari pola pikir yang terbelenggu diktator menjadi pola pikir yang bebas diktator. Pola pikir bebas tersebut membuat masyarakat lebih berani menyampaikan aspirasi, apalagi ketika reformasi bergulir telah dihapuskannya SIUPP dan diganti dengan kode etik.

Edisi Curhat : "Pulang"



Tidak yakin ini mimpi atau bukan. Realitasku seperti disusupi sayup musik dangdut  dan suara orang-orang bercengkrama. Begitu kubuka pintu kamar, yang ada dihadapanku hanyalah sepi. Dan seketika aku tersadar, aku tengah berada di kamar kosku. Mungkin karena hasrat pulangku yang begitu menggebu-gebu, hingga membuatku begini. Rasanya sudah lama sekali sejak perpulanganku yang terakhir. Aku bahkan sudah berbulan-bulan tak bertemu adikku. Aku rindu ibuku, ayahku, adik-adiku dan rumahku. Dulu sekali, pergi jauh dari rumah adalah hal yang ku inginkan, selain untuk berlari dari semua pergulatan yang ada, aku ingin menguji diriku. Seberapa kuat aku ditempa dengan dunia luar, seberapa tegar aku  berdiri tegak tanpa orang lain, sekalipun perkara finansial aku masih saja ditopang “orang rumah”. Lagi–lagi, ini seperti sebuah hipokrti yang cantik dengan bertopeng “sekolah”, aku sebenarnya mencari “kebebasanku yang lain”, tanpa harus mendapat hukuman verbal dari “orang rumah”. Karena aku benci hukuman verbal, aku benci dihujat.
Tanpa harus berkontempelasi sepanjang hari, aku lebih memilih pergi dari pada tinggal, dua tahun lalu. Namun ketika benar-benar pergi, aku justru lebih banyak berkontempelasi. Seperti saat ini, aku lebih suka mengabiskan waktuku dengan berdiam dilantai dua bangunan kosku seraya memandangi jemuran teman-temanku yang bergantungan tak beraturan. Dan aku juga lebih sering menghabiskan waktu luangku dengan tidur. Ada yang bilang padaku bahwa “Jika ada seseorang yang lebih banyak tidur atau lebih sedikit tidur, itu menandakan bahwa seseorang itu sedang kesepian”, mungkin hal itu juga terjadi padaku saat ini. Tanpa kusadari, jauh dibilik hatiku aku merasakan sepi yang tak terperi. Aku punya banyak teman dan aku tahu mereka semua menyayangiku, tetapi rasanya sangat berbeda implementasi rasa sayang mereka dengan “orang rumahku”.
Aku sedang seperti pengidap leukimia yang setiap saat membutuhkan asupan darah baru untuk kelanjutan hidupku. Dan darah itu adalah implementasi kasih sayang dari “orang rumah”. Entah kenapa, jauh dibilik hatiku saat merindu seperti ini, aku mengutuki keputusanku untuk memilih pergi dua tahun lalu. Aku mengutuki diriku saat sudah seperti ini. Dan kini aku sudah terluka, terluka parah karena rinduku pada “orang rumah”. Berkali-kali aku berkontempelasi, merenungi semua pecahan-pecahan puzzle hidupku dan aku sadar tidak semua perenungan dan pelarian itu berujung pada jawaban. Seringkali, malah pertanyaan atau pelarian barulah yang lahir. Kemudian aku sadar bahwa hidup adalah proses bertanya, bukan berlari. Jawaban hanyalah singgahan dinamis yang bisa berubah seiring dengan berkembangnya pemahaman kita. Dan pertanyaanlah yang membuat kita terus maju, bukan pelarian. Aku beruntung pemahaman seperti ini segera hadir karena aku takut diriku terus berlari dan kemudian tersesat dalam pelarianku.
Dan hal yang sangat kuinginkan saat ini adalah pulang dalam pelarianku. Aku sangat ingin pulang.

Surabaya, 23 Juni 2014