Edisi Curhat : "Kangen Ibuk"

     Hari ini cerah meskipun matahari tersembunyi di balik gumpalan-gumpalan awan yang memenuhi hampir seluruh langit. Angin mengantarkan rasa hangat dan menyentuh kulit dengan lembut. Ah, terlalu naif jika aku berharap angin hangat yang sama bertiup juga ditempat ibu berpijak sekarang. Terlalu jauh perjalanan yang harus ditempuh. Dan, di bumi yang semakin gersang ini angin semakin sulit berbisik. Karena kini ia hanya bisa berdansa dengan debu dan udara panas.
     Biarlah, biarlah, biarlah angin yang menyentuhku saat ini tak sanggup pergi ke tempatmu ibu. Biarlah ia menolak membawakan pesan seorang anak rantau kepada kampung halamannya. Cukuplah bagiku alam masih menyediakan segala yang kita butuhkan untuk tetap hidup dan berharap. Matahari pun masih melaksanakan tugasnya hingga cahayanya membantu dedaunan tetap hidup, menumbuhkan pohon-pohon yang tersisa di tanah subur.
    Sering kali aku memejamkan mata, berusaha menjangkaumu dalam pikiranku. Sungguh, aku ingin percaya bahwa pikiran adalah sebuah gelombang yang bergerak dalam frekuensi tertentu. Dan, berharap ibu juga memiliki frekuensi yang sama hingga gelombang pikiran kita bertemu di semesta. Tak peduli di belahan bumi mana, aku bisa memanggilmu ibu. Aku merindukanmu Ibu meskipun sering kali aku tak mampu mengatakannya padamu.

0 Response to "Edisi Curhat : "Kangen Ibuk""

Posting Komentar