Edisi Curhat :"Pulang"



Tidak yakin ini mimpi atau bukan. Realitasku seperti disusupi sayup musik dangdut  dan suara orang-orang bercengkrama. Begitu kubuka pintu kamar, yang ada dihadapanku hanyalah sepi. Dan seketika aku tersadar, aku tengah berada di kamar kosku. Mungkin karena hasrat pulangku yang begitu menggebu-gebu, hingga membuatku begini. Rasanya sudah lama sekali sejak perpulanganku yang terakhir. Aku bahkan sudah berbulan-bulan tak bertemu adikku. Aku rindu ibuku, ayahku, adik-adiku dan rumahku. Dulu sekali, pergi jauh dari rumah adalah hal yang ku inginkan, selain untuk berlari dari semua pergulatan yang ada, aku ingin menguji diriku. Seberapa kuat aku ditempa dengan dunia luar, seberapa tegar aku  berdiri tegak tanpa orang lain, sekalipun perkara finansial aku masih saja ditopang “orang rumah”. Lagi–lagi, ini seperti sebuah hipokrti yang cantik dengan bertopeng “sekolah”, aku sebenarnya mencari “kebebasanku yang lain”, tanpa harus mendapat hukuman verbal dari “orang rumah”. Karena aku benci hukuman verbal, aku benci dihujat.
Tanpa harus berkontempelasi sepanjang hari, aku lebih memilih pergi dari pada tinggal, dua tahun lalu. Namun ketika benar-benar pergi, aku justru lebih banyak berkontempelasi. Seperti saat ini, aku lebih suka mengabiskan waktuku dengan berdiam dilantai dua bangunan kosku seraya memandangi jemuran teman-temanku yang bergantungan tak beraturan. Dan aku juga lebih sering menghabiskan waktu luangku dengan tidur. Ada yang bilang padaku bahwa “Jika ada seseorang yang lebih banyak tidur atau lebih sedikit tidur, itu menandakan bahwa seseorang itu sedang kesepian”, mungkin hal itu juga terjadi padaku saat ini. Tanpa kusadari, jauh dibilik hatiku aku merasakan sepi yang tak terperi. Aku punya banyak teman dan aku tahu mereka semua menyayangiku, tetapi rasanya sangat berbeda implementasi rasa sayang mereka dengan “orang rumahku”.
Aku sedang seperti pengidap leukimia yang setiap saat membutuhkan asupan darah baru untuk kelanjutan hidupku. Dan darah itu adalah implementasi kasih sayang dari “orang rumah”. Entah kenapa, jauh dibilik hatiku saat merindu seperti ini, aku mengutuki keputusanku untuk memilih pergi dua tahun lalu. Aku mengutuki diriku saat sudah seperti ini. Dan kini aku sudah terluka, terluka parah karena rinduku pada “orang rumah”. Berkali-kali aku berkontempelasi, merenungi semua pecahan-pecahan puzzle hidupku dan aku sadar tidak semua perenungan dan pelarian itu berujung pada jawaban. Seringkali, malah pertanyaan atau pelarian barulah yang lahir. Kemudian aku sadar bahwa hidup adalah proses bertanya, bukan berlari. Jawaban hanyalah singgahan dinamis yang bisa berubah seiring dengan berkembangnya pemahaman kita. Dan pertanyaanlah yang membuat kita terus maju, bukan pelarian. Aku beruntung pemahaman seperti ini segera hadir karena aku takut diriku terus berlari dan kemudian tersesat dalam pelarianku.
Dan hal yang sangat kuinginkan saat ini adalah pulang dalam pelarianku. Aku sangat ingin pulang.

0 Response to "Edisi Curhat :"Pulang""

Posting Komentar