Essay : Sudahkah Bangsa ini Sejahtera?



Sudahkah Bangsa ini Sejahtera?

           Berbicara tentang  kesejahteraan, kita terlebih dahulu harus mengetahui apa pengertian dari kata sejahtera. Menurut Wikipedia Bahasa Indonesi sejahtera secara umum digambarkan sebagai satu keadaan dimana orang-orangnya makmur, berkeadaan baik, dalam keadaan sehat dan damai. Sedangkan jika dilihat dari sektor ekonomi  sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda. Sejahtera memliki arti khusus resmi atau teknikal (lihat ekonomi kesejahteraan), seperti dalam istilah fungsi kesejahteraan sosial. Sejahtera menurut W.J.S Poerwadarimta adalah “aman, sentosa, dan makmur”. Sehingga arti kesejahteraan itu meliputi kemanan, keselamatan dan kemakmuran. Keadaan sejahtera itu juga digambarkan dalam UU No 6 tahun 1974 dengan sangat abstrak,  yaitu  suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin dan seterusnya (sumber: www.kamushukum.com).
            Ukuran kesejahteraan suatu bangsa tidak bisa hanya dilihat dari satu sektor saja. Misalnya suatu negara memiliki pendapatan perkapita yang tinggi namun di negaranya sering terjadi peperangan baik antar suku maupun golongan, maka negara tersebut tidak bisa dikatakan sejahtera. Dalam suatu teori ekonomi dikatakan bahwa suatu negara dikatakan makmur secara ekonomi apabila memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) yang tinggi. Namun pada kenyataannya, tingginya PDB suatu negara tidak menjamin rakyatnya sejahtera secara ekonomi. Sebab, angka PDB adalah angka rata-rata yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kita misalkan saja dengan adanya beberapa konglomerat  di suatu negara secara otomatis mendongkrak angka PDB,  padahal di balik itu banyak rakyat dalam keadaan kekurangan yang hanya sekian persen menyumbangkan hitungan dalam PDB, sementara jumlah konglomerat di Indonesia sangat  sedikit dibandingkan dengan rakyat miskinnya.
            Terlepas dari semua itu, sepertinya perekonomian bangsa ini masih jauh dari kata sejahtera, Sebuah survei hingga Maret 2012 mencatat, jumlah orang miskin di Indonesia masih 29,1 juta orang atau 11,9% dari total penduduk Indonesia (Jakarta, GATRAnews).  Angka yang relatif masih sangat tinggi di negeri yang kaya akan sumber daya alam ini dan memiliki angka pertumbuhan yang cukup tinggi. Ketimpangan sosial yang terjadi seakan tak pernah berhenti bahkan terus bertambah setiap harinya.
Miris menyaksikan kondisi masyarakat saat ini. Di era global yang penuh persaingan, masih banyak masyarakat Indonesia yang tertinggal secara ekonomi. Pengangguran, pekerjaan yang tak layak, kemiskinan,rendahnya upah tenaga kerja dan lain sebagainya. Tak hanya itu, sebenarnya kasus pencurian, perampokan, korupsi, suap, dan sejenisnya adalah indikator suatu bangsa tidak berhasil dalam meningkatkan  ekonomi rakyat.  pasalnya tindak kriminal diatas terjadi karena sebagian orang yang merasa kurang dalam memenuhi kebutuhan materinya sementara lapangan pekerjaan yang tersedia sangatlah terbatas. Tak kalah bayak, orang miskin, gelandangan dan semacamnya yang terkesan diabaikan oleh negara. Hal itu  sangat bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Yang pada kenyataannya sangat berbanding terbalik, bahkan lebih cocok dikatakan fakir miskin dan anak terlatar diabaikan oleh negara”. Lihat saja, begitu banyak anak-anak jalanan yang memenuhi ibu kota, padahal sesungguhnya tempat itu tidaklah cocok bagi mereka.  Gubuk-gubuk derita bertebaran di pinggiran sungai, di kolong jembatan, dan lain sebagainya. Penggusuran terjadi di mana- mana tanpa adanya ganti rugi ataupun jaminan tempat tinggal terhadap rakyat.  Hal itu juga merupakan salah satu bukti  bahwa bunyi pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tersebut belum bisa di implementasikan dengan baik.
         Di beberapa negara seperti Argentina, Australia, Saudi Arabia, Amerika, China dan beberapa negara maju lain menerapkan faedah pengangguran, yaitu bayaran yang dibuat oleh negara  atau badan berkuasa lain untuk pengangguran rakyat (wikipedia). Sebut saja di Arab Saudi, Kerajaan Saudi memberi subsidi 2.000 riyal atau sekitar Rp4,8 juta per bulan selama lebih dari satu tahun kepada para penganggur.(VIVAnews 30/03/2012). Pemberian bantuan ini bertujuan untuk membantu para pengangguran dalam menopang kehidupannya  dan membuka lapangan pekerjaan sendiri.  Wacana bahwa pemerintah Indonesia  akan memberikan gaji kepada pengangguran di Indonesia sepertinya masih sulit untuk dilaksanakan. Namun setidaknya pemerintah memberikan lapangan pekerjaan yang luas dan memadai guna mengatasi kemiskinan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Melihat permasalahan kesejahteraan yang semakin runyam, marilah kita mencoba menengok pendidikan di negara ini. Diakui tau tidak pendidikan tetap ada kaitannya dengan persoalan kesejahteraan. Sedikit banyak pendidikanlah yang akan memotong rantai kemiskinan dinegeri ini, pendidikan yang akan mengantarkan suatu masyarakat unuk memiliki pola fikir yang terbuka, maju  dan lebih terpola. Meskipun juga tidak ada yang menjamin bahwa setinggi apapun tingkat pendidkan yang diemban suatu individu , ia akan terbebas dari masalah kemiskinan dan kesejahteraan. Namun setidaknya dengan pendidikan suatu masyarakat akan lebih produktif, mendapatkan pekerjaan dan  penghidupan yang lebih layak sehingga  taraf hidup meningkat. Dengan tingginya mutu sumber daya manusia yang ada, secara otomatis juga akan meningkatkan upah yang akan diterima. Mengutip perkataan M. Nuh, pada titik inilah pendidikan akan mampu menjadi salah satu elevator sosial, yang diharapkan akan mampu menjadi pemutus mata rantai kemiskinan. Semoga.