Dari Kekecewaan demi kekecewaan hingga
Keikhlasan
“MAN
JADDA WA JADDA (Siapa yang bersungguh – sungguh
akan berhasil) ”. Saya telah mendogmakan kalimat tersebut dan memposisikannya sebagai
mantra ajaib yang setiap saat dapat saya ucapkan untuk menaggulangi rasa malas
saya yang berlebihan ketika belajar. Malas telah menjadi hal yang lumrah
terjadi di kala belajar, tetapi intensitas malas yang berlebihan dapat
berakibat fatal bagi para pelajar. Semua hal yang terjadi di dunia ini bukan
tanpa alasan, seperti halnya kemalasan yang terjadi dalam belajar, pasti ada
sebab dan alasan di balik setiap kemalasan yang terjadi.
Setahun
terakhir ini saya mengalami degradasi semangat cukup akut yang disebabkan
lantaran kemalasan dengan intensitas cukup tinggi. Terhitung sejak Juli 2012 saya
telah tercatat sebagai mahasiswa di sebuah Institut Islam Negeri di Surabaya,
meski berada di Institut tersebut merupakan sebuah kecelakaan. Namun menjadi
mahasiswa (satu – satunya kata maha yang disematkan pada manusia) tetaplah impian saya, hal tersebut bahkan telah saya
impikan sejak awal duduk di bangku sekolah menengah atas. Tetapi menjadi
mahasiswa salah jurusan jelas bukanlah impian saya karena pada kenyataannya hal
tersebutlah yang terjadi pada saya. Dan hal tersebut pula lah yang memicu
degredasi semangat dalam diri saya. Jika dulu mantra ajaib “MAN JADDA WA
JADDA” mampu menanggulangi kemalasan saya, bahkan dalam intensitas yang
cukup tinggi sekali pun, tetapi kini mantra ajaib tersebut tak lagi cukup
mujarab untuk menaggulangi kemalasan saya lantaran pangkal permasalahannya
adalah “Saya salah jurusan”. Walaupun jurusan tersebut bukanlah jurusan yang
tidak saya suka, tetapi tetap saja, seberapa keras usaha saya untuk
mencintainya, belum juga membuahkan hasil lantaran saya belum menemukan hasrat
saya pada jurusan tersebut.
Orang
tua saya memiliki perspektif yang berbeda dari apa yang saya lihat tentang
jurusan saya yang sekarang ini. Menurut orang tua saya profesi menjadi guru
adalah profesi yang prospektif baik dilihat dari sesi moriil–materiil ataupun
dunia–akhirat. Profesi yang paling cocok untuk anak perempuan adalah menjadi
guru (dalam pandangan orang tua saya) karena selain memiliki strata sosial yang
cukup tinggi di mata masyarakat, profesi guru juga telah terjamin
kesejahteraannya oleh pemerintah (apabila PNS) dan mendapatkan gaji serta
tunjangan yang tidak sedikit. Sedangkan sisi akhiratnya, tugas utama seorang
guru adalah mendidik murid–muridnya atau setidaknya membantu mengentaskan murid
dari belenggu kebodohan. Dan dari situlah seorang guru berpotensi mendapatkan
pahala yang cukup besar (asal dijalankan dengan ikhlas). Orang tua saya telah
mendogmakan profesi guru sebagai profesi yang mulia serta sukses, dan dengan
segala upayanya mengupayakan saya untuk mengambil disiplin ilmu yang berujung
pada profesi tersebut. Lain halnya dengan persepsi orang tua saya, menurut saya
jurusan apapun itu akan mulia dan sukses bagi tiap–tiap orang apabila dipilih
benar – benar berdasarkan hasrat, kecintaan dan minatnya akan jurusan tersebut.
Yang tepenting bukanlah prospek ke depannya tetapi bagaiman prosesnya hingga
mencapai prospek emas. Dan proses yang benar diawali dengan memilih jurusan yang
benar–benar menaruh hasrat, kecintaan serta minat yang tinggi di dalamnya.
Perbedaan
persepsi antara anak dan orang tua adalah hal yang wajar dan lumrah
terjadi, (sebagai anak) tinggal bagaiman
untuk tetap menempatkan akhlak mulianya diantara perbedaan tersebut. Dengan
berbekal sebait hadist shohih yang berbunyi “Ridhollah fiir Ridho
walidain (Ridho Allah adalah Ridho Orang tua)” akhirnya
saya menuruti keinginan orang tua saya untuk mengambil jurusan tersebut. Toh,
apa salahnya mencoba?, begitu yang terpikir dalam benak saya.
Meskipun
pada dasarnya ini bukanlah jurusan yang saya inginkan tetapi tanpa mengurangi
kredibilitas saya sebagai anak ataupun mahasiswa, saya harus tetap rajin
belajar. Ini adalah komitmen yang saya pegang teguh dari dulu. Agar tidak
mengecewakan orang tua saya dan Institut saya, sehingga pada semester pertama
kemarin alhmadulillah IP saya lebih dari 3,50. Meski demikian, tetapi
kenyataannya disini yang banyak menelan kekecewaan adalah saya, yang sering
menangis adalah saya sendiri pula, karena sampai saat ini belum menemukan
hasrat sebagai modal untuk mencintai jurusan tersebut.
Tak
dapat dipungkiri, semangat saya sering kali mencapai titik nol dan di sinilah
teman sering mengambil peranan penting, karena setiap kali itu terjadi selain
mantra ajaib “MAN JADDA WA JADDA”, teman sering kali membantu mendongkrak
semangat saya menjauhi titik nol. Banyak teman yang silih berganti memberikan
petuah untuk segera hengkang dari jurusan tersebut apabila saya benar – benar
merasa tak cocok. “Dari pada terpaksa dan hasilnya gak baik mending
pindah aja” begitu kata mereka.
Teman
tak ubahnya semilir angin di dalam bis yang penuh sesak dan panas akibat
radiasi matahari dengan intensitas yang terlalu tinggi. Dari seorang teman pula
saya mendengar semilir kabar mengenai Universitas Paramadina dan Paramadina
fellowship (PF) atau beasiswa Paramadina, sehingga kembali membakar hasrat saya
untuk mendaftar. Sebenarnya semangat saya untuk kembali mendaftar telah
menggebu – gebu sejak awal saya berada di Institut dimana saya belajar
sekarang, bahkan saya telah dengan mudah mendapatkan pin bidikmisi untuk
kembali mendaftar SNMPTN dari guru BK saya di sekolah menengah atas pada
Januari 2013 lalu, saya juga telah mempersiapkan mental saya dengan kembali
mempelajari materi – materi SNMPTN, meski saya harus sedikit memaksa diri saya untuk
kembali mempelajarinya.
Pemaksaan
demi pemaksaan saya lakukan demi apa yang saya dambakan. Bahkan saya memaksa
diri saya untuk menabung dalam jumlah yang banyak untuk persiapan biaya hidup
saya saat tes dan biaya administrasi saya yang lain. Saya telah sejauh itu
ketika tiba-tiba guru BK saya menyuruh saya untuk berhenti dan beliau juga
mencabut pin bidikmisi yang telah diberikan kepada saya, saya tahu hal tersebut
terjadi karena adanya laporan dari orang tua saya, karena orang tua saya tahu
saya tak dapat bergerak banyak jika saya tidak memiliki pin tersebut.
Saya
kecewa dengan ketidak konsistenannya guru BK saya, saya terus menuntut tetapi
beliau bergeming. Setiap kali saya menuntut, guru saya selalu menasihati saya
dengan petuah – petuahnya. Saya jadi terkesan seperti anak nakal yang
kehilangan motivasi, tetapi saya tidak peduli karena saya telah sangat kecewa
dengan beliau. Untuk beberapa saat saya berusaha mengubur kembali angan – angan
saya untuk kembali mendaftar karena saya memang tak dapat bergerak banyak tanpa
pin bidikmisi tersebut. Hingga kemudian saya mendapat semilir kabar dari teman
saya tentang Universitas Paramadina dan Paramadina Fellowship (PF) atau
beasiswa Paramadina yang prosedural pendaftarannya tidak serumit SNMPTN. Hal
tersebut kembali membakar semangat saya, bahkan kali ini lebih menggebu – gebu.
Walaupun
saya sangat sadar bahwa saingannya tak hanya satu, dua, tiga, empat atau lima
orang, tetapi ratusan atau bahkan bisa jadi ribuan orang yang juga mendaftar
Universitas yang di gagas oleh Anis Baswedan tersebut. Dengan intelektualitas
yang sama – sama terasah, dengan kerja keras yang sama – sama membabi buta dan
dengan do’a serta harapan yang sama – sama berintensitas tinggi, saya akan
berjuang diantara pendaftar lain.
Alasan
utama saya mendaftar adalah, pertama ingin membuktikan kepada orang tua saya,
kedua ingin meringankan beban biaya orang tua saya (apabila saya diterima PF)
karena di Institut saya sekarang saya tak mendapat beasiswa, ketiga ingin
mengambil jurusan yang saya inginkan dan keempat tentunya adalah ingin
mengentaskan diri saya dari belenggu kebodohan. Saya ingin terus berusaha, saya
ingin terus melangkah menabrak batasan – batasan semu yang diciptakan problem
dan persepsi orang, sampai berbatasan dengan tembok nasib, sampai nasib dan
realita menyuruh saya untuk berhenti.
Berbicara
mengenai nasib tentunya tak hanya mengenai apa yang saya upayakan, tak hanya
mengenai apa yang saya rencanakan, meskipun hal tersebut merupakan hal – hal
yang menentukan nasib tetapi tetap saja saya bukanlah Tuhan. Karena kembalinya
semua yang saya lakukan adalah kepada Tuhan.
Awal
april 2013, Membuat essay dan mengumpulkan berkas telah saya lakukan sebagai
prasayarat masuk Universitas yang di gagas oleh Anis Baswedan di Jakarta tersebut,
namun naasnya setelah 85 % persiapan
saya, orang tua kembali tak memberi restu dan dengan realita demikian saya
merasa benar – benar harus berhenti karena memang tak ada gunanya berusaha
membabi buta tetapi tak mendapat restu. Mengingat beberapa waktu lalu ketika saya
bergeming dengan idealisme saya saat mendaftar SNMPTN undangan dan juga SNMPTN
tulis tanpa mendapat restu hingga berakhir dengan menelan kegagalan beserta
kekecewaan.
Dan
kini kembali disayangkan, setelah semua usaha saya nihil dan lagi – lagi saya
kembali menelan kegagalan beserta kekecewaan, bahkan kegagalan tersebut terjadi
sebelum saya mendaftar. Mungkin Tuhan telah menakdirkan saya di Institut ini
untuk sementara waktu. Tuhan ?? sepertinya sedikit tabu ketika menarik korelasi
antara semua kegagalan yang saya alami dan takdir Tuhan karena itu sama halnya
dengan saya mempersalahkan Tuhan atas kegagalan–kegagalan saya. Lantas
bagaimana???. Saya sudah berupaya semaksimal mungkin untuk semua yang saya
dambakan tetapi tetap saja saya menelan kegagalan beserta kekecewaan mendalam.
Sudah sangat pahit rasanya namun beginilah adanya. Saya sadar satu–satunya obat
untuk menghilangkan kepahitan akibat kekecewaan demi kekecewaan yang saya dera
adalah dengan melihat sekeliling saya, mensyukurinya dan mulai mencintainya.
Dan
saya pun mulai menyibukkan diri dengan mengikuti organisasi. Di organisasi yang
saya ikuti saya bertemu dengan orang – orang baru, dengan latar belakang dan
karakterristik yang berbeda–beda pula. Dari mereka saya belajar banyak hal yang
mungkin tidak akan saya dapat jika saya tidak terdampar di tempat yang tidak
saya inginkan ini. Saya merasa sangat bersyukur setidaknya saya masih lebih
beruntung karena dapat mengenyam pendidikan sampai sejauh ini.
Terlepas
dari semua hal tersebut saya hanyalah manusia biasa, kadang kala Saat teringat
semua yang telah terjadi tersebut, rasanya hati saya kembali teriris–iris.
Pedih dan pahit tersebut adalah satu paket menyakitkankan yang kompilt untuk
sekedar merenung, menyesali semua yang telah terjadi ataupun mengucurkan air
mata. Saya berusaha untuk mengikhlaskan segalanya, setulus dan setulus mungkin.
Saya berusaha yakin dibalik semua kisah kegagalan serta kekecewaan saya, ada
kisah indah yang telah Tuhan mempersiapkan untuk saya. Biar waktu yang akan
menjawabnya karena semua akan indah pada waktunya. Saya
yakin !.
0 Response to "Edisi Cuhat : Dari Kekecewaan"
Posting Komentar