Edisi Curhat : Ya Sudahlah



Hamba tahu engkau maha bijak yaa Robb..
Hamba tahu ini semua sudah suratan, namun hamba ini cuman manusia biasa yang lebih sering tidak menerima dan memahami segala sesuatu begitu saja.
 Hamba butuh proses, hamba butuh banyak waktu.
Sebagian berubah karena terpaksa.
Sebagian lagi berubah setelah membayar mahal dgn bnyk kesedihan.
Sebagian lagi berubah setelah penuh penyesalan dan airmata.
Maka orang2 yg beruntung adalah yg berubah cukup dgn belajar dari pengalaman orang lain. 

Dari bacaan, nasehat, mengamati. 
Sebelum terlanjur. 
Namun ketika dalam kurun waktu penerimaan dan pemahaman tersebut tak kunjung datang, yang bisa kulakukan justru memberontaki dan memunafiki semuanya.
 Apalah daya hambaMu ini ya Tuhan.
Apa yang bisa hamba lakukan, ketika semua ini justru adalah suratan dari engkau, sang maha pemilik segala.
ya sudahlah.....


Puisi : "Oh"

Oh,
Dimana cemburu itu?
Bukan cemburu tanpa alasan
Tapi cemburu karena ingin menjaga
Bukan cemburu buta
Tapi cemburu karena cinta
Karena Sang Pencipta

Oh, indahnya
Cemburu dengan anggun
Perlahan, saling mengingatkan

"Jika kau peduli, kau akan menjaga"

-----------------------------------------------------------
Karena peduli bukan hanya mendukung ketika ia benar
Peduli juga mengingatkan ketika ia salah.
-----------------------------------------------------------

Tak ada cinta jika tak cemburu
Tapi, cemburu harus diarahkan agar tak serampangan
Agar tak saling menyakiti :-)

Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ثلاثة لا ينظر الله عز وجل إليهم يوم القيامة: العاق لوالديه، والمرأة المترجلة، والديوث.( رواه أحمد والنسائي
Artinya : "Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat (bermakna tiada bantuan dari dikenakan azab) mereka di hari kiamat : org yd durhaka kepada ibu bapaknya, Perempuan yang menyerupai lelaki dan lelaki DAYYUS" ( Riwayat Ahmad & An-Nasa'i: Albani mengesahkannya Sohih : Ghayatul Maram, no 278 )

Dalam riwayat lain dikatakan Dayyus yaitu seseorang lelaki yang membiarkan kejahatan (seperti: zina, buka aurat, bergaul bebas) yang dilakukan oleh ahlinya (isteri dan keluarganya).

Jika kita melihat tafsiran oleh para ulama berkenaan istilah Dayus ia adalah seperti berikut:
هو الذي لا يغار على أهله 
Artinya: "Seseorang yang tidak ada perasaan cemburu (kerana iman) terhadap ahlinya (isteri dan anak-anaknya). [An-Nihayah,2/147 ; Lisan al-Arab, 2/150]

Opini : Wajah Pancasila di Era Reformasi



Wajah Pancasila di Era Reformasi
Oleh: Reni Prasetia Nurmawati

Euforia kebebasan pacsa rezim Orde baru begitu gilang gemilang, seperti angin segar di dalam bis yang penuh sesak dan panas akibat radiasi matahari dengan intensitas yang terlalu tinggi, tak ubahnya orde baru. Orde baru adalah masa yang sangat menyesakkan, panas, penat sekaligus masa yang sangat panjang. Tiga puluh dua tahun pemerintahan orde baru dan selama itu pula rakyat Indonesia tercekat, tergantung sedikit tapi tidak sampai mati.
Awal rezim orde baru disambut dengan antusias tinggi oleh rakyat Indonesia karena pada waktu itu gembong orde baru “telah berjasa” mengentaskan rakyat Indonesia dari teror pembuhuhan keji yang disinyalir dilakukan oleh “PKI” (partai Komunis yang pernah mencoba mengganti idoelogi bangsa dengan ateisme) lantaran dendamnya dengan TNI. Dari situlah muncul spekulasi bahwasanya gembong orde baru tersebut memanfaatkan situasi, tanpa ada yang menyadarinya. Sampai surat Super Semar turun, sampai pelantikan presiden kedua, sampai orde baru bergulir. Rakyat Indonesia terlena, tanpa sadar terlepas dari mulut harimau mereka dengan hormat masuk ke mulut buaya.
Orde baru menetapkan kebijakan – kebijakan dengan konsep yang sangat bagus, seperti penerapan P4 (Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan kebijakan dalam aspek lain. Beberapa aspek berjalan dengan baik sampai ketika itu Indonesia sempat dijuluki sebagai “The Miracle of Asia” dengan perekonomian yang meningkat pesat, swasemabada panggan, bahkan sampai sempat menjadi pemasok beras dunia. Terlepas dari semua hal tersebut, Indonesia menanggung utang yang begitu banyak kepada bank dunia (IMF). Beberapa kebijakan yang diharapkan dapat mengentaskan Indonesia dari utang ternyata gatot (gagal total) dalam praktiknya, lantaran aparat yang menjalankan sistem korupsi. Pada waktu itu pula pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran pancasila yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Akibatnya ketika terjadi pergantian rezim (orde baru ke reformasi), muncullah demistikikasi (penghilangan penghargaan) dan perombakan habis – habisan terhadap Pancasila, yang dianggap sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya.  Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap sebagai ornamen sistem politik yang bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.
Isu HAM dan Demokrasi memberikan kekuatan baru bagi rakyat Indonesia untuk menggulingkan kekuasaan rezim orde baru hingga memunculkan era reformasi. Era reformasi perlahan – lahan menggeser pola pikir rakyat Indonesia dari pola pikir yang terbelenggu diktator menjadi pola pikir yang bebas diktator. Pola pikir bebas tersebut membuat masyarakat lebih berani menyampaikan aspirasi, apalagi ketika reformasi bergulir telah dihapuskannya SIUPP dan diganti dengan kode etik.

Edisi Curhat : "Pulang"



Tidak yakin ini mimpi atau bukan. Realitasku seperti disusupi sayup musik dangdut  dan suara orang-orang bercengkrama. Begitu kubuka pintu kamar, yang ada dihadapanku hanyalah sepi. Dan seketika aku tersadar, aku tengah berada di kamar kosku. Mungkin karena hasrat pulangku yang begitu menggebu-gebu, hingga membuatku begini. Rasanya sudah lama sekali sejak perpulanganku yang terakhir. Aku bahkan sudah berbulan-bulan tak bertemu adikku. Aku rindu ibuku, ayahku, adik-adiku dan rumahku. Dulu sekali, pergi jauh dari rumah adalah hal yang ku inginkan, selain untuk berlari dari semua pergulatan yang ada, aku ingin menguji diriku. Seberapa kuat aku ditempa dengan dunia luar, seberapa tegar aku  berdiri tegak tanpa orang lain, sekalipun perkara finansial aku masih saja ditopang “orang rumah”. Lagi–lagi, ini seperti sebuah hipokrti yang cantik dengan bertopeng “sekolah”, aku sebenarnya mencari “kebebasanku yang lain”, tanpa harus mendapat hukuman verbal dari “orang rumah”. Karena aku benci hukuman verbal, aku benci dihujat.
Tanpa harus berkontempelasi sepanjang hari, aku lebih memilih pergi dari pada tinggal, dua tahun lalu. Namun ketika benar-benar pergi, aku justru lebih banyak berkontempelasi. Seperti saat ini, aku lebih suka mengabiskan waktuku dengan berdiam dilantai dua bangunan kosku seraya memandangi jemuran teman-temanku yang bergantungan tak beraturan. Dan aku juga lebih sering menghabiskan waktu luangku dengan tidur. Ada yang bilang padaku bahwa “Jika ada seseorang yang lebih banyak tidur atau lebih sedikit tidur, itu menandakan bahwa seseorang itu sedang kesepian”, mungkin hal itu juga terjadi padaku saat ini. Tanpa kusadari, jauh dibilik hatiku aku merasakan sepi yang tak terperi. Aku punya banyak teman dan aku tahu mereka semua menyayangiku, tetapi rasanya sangat berbeda implementasi rasa sayang mereka dengan “orang rumahku”.
Aku sedang seperti pengidap leukimia yang setiap saat membutuhkan asupan darah baru untuk kelanjutan hidupku. Dan darah itu adalah implementasi kasih sayang dari “orang rumah”. Entah kenapa, jauh dibilik hatiku saat merindu seperti ini, aku mengutuki keputusanku untuk memilih pergi dua tahun lalu. Aku mengutuki diriku saat sudah seperti ini. Dan kini aku sudah terluka, terluka parah karena rinduku pada “orang rumah”. Berkali-kali aku berkontempelasi, merenungi semua pecahan-pecahan puzzle hidupku dan aku sadar tidak semua perenungan dan pelarian itu berujung pada jawaban. Seringkali, malah pertanyaan atau pelarian barulah yang lahir. Kemudian aku sadar bahwa hidup adalah proses bertanya, bukan berlari. Jawaban hanyalah singgahan dinamis yang bisa berubah seiring dengan berkembangnya pemahaman kita. Dan pertanyaanlah yang membuat kita terus maju, bukan pelarian. Aku beruntung pemahaman seperti ini segera hadir karena aku takut diriku terus berlari dan kemudian tersesat dalam pelarianku.
Dan hal yang sangat kuinginkan saat ini adalah pulang dalam pelarianku. Aku sangat ingin pulang.

Surabaya, 23 Juni 2014

Opini : Oh Begini?

“Oh Begini?”
*Reni Prasetia N

“Oh, jadi begini UN???”
Sudahlah, hapus saja UN !!!
Buat apa menghambur – hamburkan duit negara Cuma buat ngadain ujian yang udah pasti hasilnya??
Mending kelulusan siswa diserahkan kepada sekolah masing – masing layaknya kelulusan sarjana dari perguruan tinggi.
Kalo ini mah bukan stndarisasi pendidikan, tetapi sekedar standarisasi nilai atau angka – angka yang gak penting dan Cuma jadi penghias ijazah saja.
UN gak penting, dihapus saja !!!
Sebenarnya UN juga penting sih, ya walaupun memang sekarang penyelenggarannya buruk, UN itu bisa dipakai pemerintah buat mengukur tingkat pengembangan sumber daya manusia kita. Salah satu parameter pengukura di Human Development Indeks kan pendidikannya. Kalo pendidikannya bagus, HDInya tinggi dan sebaliknya. Tapi kan bagus atau tidak itu penilaian kualitatif, sementara yang namanya pengukuran itu harus memasukkan nilai – nilai kuantitatif. Artinya, harus ada kuantifikasi dari parameter – parameter kualitatif tadi. Salah satunya dengan Ujian Nasional. Ketika semua siswa dihadapkan dengan materi ujian yang relatif sama, kita bisa tahu mana daerah – daerah yang telah mendapatkan pendidikan yang baik dan mana yang belum dengan melihat hasil UN. Ini sebenarnya inti dari fungsi standarisasi. Akhirnya data – data ini bisa dipakai sebagai dasar pembuatan proyeksi kualitas pendidikan di masa depan dan yang paling penting bisa dipakai menjadi dasar pembuatan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Kalau UN dihilangkan, maka kita akan kesulitan menentukan titik acuan pengukuran data kuantitatif tadi. Kalau di negara – negara maju memang UN tidak ada. Itu memungkinkan karena mereka sudah punya standarisasi tertentu yang diberikan kepada sekolah – sekolah dalam menilai siswa – siswinya. Standarisasi semacam itu di sana memnag bisa diterapkan karena kualitas pendidikan dan kualitas SDM di negara – negara maju relatif merata antar daerahnya. Kalau di Indonesia yang kondisi SDMnya masih sangat heterogen, sistem semacam ini sulit untuk diterapkan. Jadi, mungkin solusi yang terbaik bukanlah menhilangkan UN karena UN tetap saja penting. Solusi yang tepat sih aku rasa jangan jadikan UN sebagai parameter kelulusan utama. Sebenarnya sistem kelulusan sekarang ini sudah cukup bagus dimana kelulusan ditentukan dari mensinergikan UN, US, dan nilai rapot. US dan nilai rapot kan standarisasi tiap sekolah yang bisa menyesuaikan dengan kondisi aktual siswa – siswinya. Tetapi yang jadi masalah, sistem ini justru “disalahgunakan” oleh sekolah yang kebanyakan “membesar – besarkan” nilai US atau nilai raport siswa –siswinya dengan tujuan agar tingkat kelulusan di sekolahnya tinggi. Ini juga yang harus jadi bahan kajian bagaimana mendidik para tenaga pendidik untuk melakukan pendidikan dengan adil dan sebagaimana mestinya, sehingga kualitas pendidikan di indonesia bisa benar – benar diukur dan dapat diambil kebijakan – kebijakan yang tepat.

Puisi : 1 Desember

1 Desember 2013
Satu desember
Semilir Angin membasuh peluh
Menggerakkan dedaunan basah
Ah! Gemerisik embun mengecipak padaku
Membasahi wajahku yang berpeluh
Satu desember
Awan hitam bersipaut dengan langit siang
sang guntur melantunkan kidungnya
Memberi sinyal pada kami untuk bersembunyi
Satu desember
Bersama kidung sang guntur
Bumi menangis
Deras dan sangat deras
Satu desember
Aku takut !!!!

Puisi : My Self

It is confused 
Sometimes I am stronger than any evil
Sometimes not more than anything
I am what am I think
But I don't what thing I am
The truth : I am my self
Never be any more or any less.